Iqlima, beberapa hari belakangan ini memang sedang menunjukkan ketertarikanya pada alat kelaminya. Deuhhh…pertama kali lihat aku kaget juga, sebab beberapa tahun yang lalu, Orlin pun demikian, tapi sekarang sudah nggak pernah lagi. Sekarang giliran Iqlima, dia melakukannya ketika setelah mandi, atau bahkan (pernah) sambil minum susu, kebanyakan sih ketika dia nggak pake celana. ( hehhe abis pipis belum dipakein celana gitu.)
Kadang tanganya aku sentil dech, dikaish tahu nggak ngerti juga nih..hehhe, ternyata menurut artikel di bawah nggak boleh dimarahin ya..:(. Maafkan daku ya darling. peace ya Iq.
************************************************************************
TAK USAH PANIK MENDAPATI ANAK "MASTURBASI"
Wajar, kok, bila si kecil memainkan alat kelaminnya karena memang sedang fasenya. Tapi, tetap harus dicegah dan ditangani secara tepat.
Umumnya, orang tua langsung panik kala mendapati anak prasekolahnya memegang-megang atau memain-mainkan alat kelaminnya. Hingga, dimarahilah si anak. Padahal, seperti diungkap Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, Psi.MM, dari LPT UI, Jakarta, perilaku demikian wajar terjadi pada anak usia 3-6 tahun. "Anak usia ini memang suka bermain-main dengan alat genitalnya untuk mencapai kenikmatan. Sebab, pusat kenikmatan anak di usia ini berada di sekitar alat genitalnya, yang disebut fase phallic."
Lebih jauh dijelaskan Ratih, fase phallic merupakan bagian dari proses perkembangan anak. Awalnya, dari usia 1-1,5 tahun, pusat kenikmatan anak berada di mulut, disebut fase oral. Itulah mengapa, di usia tersebut anak senang sekali memasukkan segala sesuatu ke mulut. Berikutnya, pada umur 1,5-3 tahun, anak berada pada fase anal; dia mulai menahan keinginan BAB-nya. Selanjutnya, anak mengalami fase phallic. "Fase ini biasanya akan berhenti sampai anak berumur 6 tahun."
HARUS DICEGAH
Jadi, tahapan ini merupakan fase yang normal, ya, Bu-Pak. Bukan berarti si kecil tengah melakukan masturbasi. Walau begitu, kita tak boleh membiarkan si kecil asyik memainkan alat kelaminnya. Sebab, terang Ratih, "Jika sudah menjadi kebiasaan, maka inilah yang dinamakan dengan masturbasi."
Untuk itu, kita harus mencegahnya. Namun, jangan lantas kita girap-girap alias panik; berteriak-teriak atau marah, bahkan memukuli anak kala melihatnya tengah memainkan alat kelaminnya. Cukup katakan dengan tenang kepadanya, "Kak, penisnya jangan dibuat mainan, nanti lecet, lo." Atau, "Jangan sering melakukan itu, ya, Kak, supaya vaginanya enggak lecet. Kalau lecet, nanti kalau mau pipis, sakit lo." Selanjutnya, alihkan perhatian anak. Pindahkan tangannya dari aktivitasnya itu, lalu beri mainan yang menarik minatnya. Bila perlu, ajak dan temani anak bermain, hingga ia lupa dengan aktivitasnya tadi.
Jika orang tua bekerja, pesan Ratih, sebaiknya pesankan kepada pengasuh agar melakukan hal yang sama. Minta si pengasuh untuk menegur dan mengingatkan anak kala kedapatan tengah melakukan aktivitas tersebut. Juga, minta dia sering mengajak anak bermain hingga anak lupa pada aktivitasnya itu.
TANGANI SECARA TEPAT
Yang jelas, dalam menyampaikan larangan kepada anak, jangan sampai menunjukkan rasa panik. Ingat, anak seusia itu punya rasa ingin tahu. Jika ia melihat respon dari orang tua atau lingkungannya demikian, anak akan merasa, "Ini ada apa, sih? Pasti ada yang menarik di sini." Maka dia akan terus melakukan aktivitas itu, bahkan akan jadi makin terfokus ke sana. Jadi, kebiasaan melakukan masturbasi bisa terjadi pada penanganan yang tak tepat.
Apalagi, anak sebenarnya memegang-megang alat kelaminnya tanpa berpikir panjang. "Pokoknya, enak dipegang. Lalu karena respon ibunya keliru, misal, jadi marah, histeris, atau anaknya dipukuli, tanpa sadar ini justru memacu anak untuk lebih sering memainkan alat genitalnya atau semacam mendapat stimulus. Mungkin ia melakukan kebiasaan tersebut dengan cara mencuri-curi."
Nah, karena merasa nikmat, anak akan melakukan itu secara terus-menerus. Bahkan bisa hingga masa pubertasnya. Pada masa pubertas, stimulasinya akan berbeda lagi. "Mungkin tadinya cuma geli-geli saja, begitu sudah remaja, akan ada fantasi seksual yang menyertai atau ada perilaku seksual tertentu yang menyertai."
Selain itu, karena mendapat stimulus terus, bisa terjadi penis si Buyung akan berdiri. "Bisa saja saat itu anak mendekat kepada ibunya dan menggosok-gosokkan penisnya kepada ibunya. Kalau ibunya lantas girap-girap atau ‘heboh’, anak bisa melakukan terus atau malah mencari objek lain." Lain hal jika si ibu memberitahu, "Kak, stop! Jangan begitu, dong. Tuh, lihat di televisi ada apa?" Atau, "Ayo kita bermain." Jadi perilaku anak yang distop.
Sebab, bagaimanapun, papar Ratih, yang namanya masturbasi seperti kecanduan narkoba. Ada levelnya. "Pertama cuma pegang-pegang, lalu makin lama makin berkembang menjadi advanced. Selanjutnya jadi makin canggih dengan tingkat kerumitan yang makin tinggi." Kalau ini menjadi kebiasaan, mungkin kelak alat genitalnya tak bisa berfungsi secara wajar saat akan berhubungan dengan istrinya. Namun bila penanganannya tepat, biasanya pada umur 6 tahun kebiasaan memegang-megang alat kelamin atau "masturbasi" ini akan hilang sendiri.
BEDA DENGAN ORANG DEWASA
Memang, aku Ratih, reaksi spontan orang tua yang marah atau teriak, lebih karena ia belum tahu perilaku "seksual" anak-anak. Biasanya orang tua mengira perilaku seksual anak akan sama dengan perilaku orang dewasa. Padahal, pada masa kanak-kanak, anak masih makhluk aseksual karena ia belum mengalami pubertas.
Jadi, orientasi anak bukan seperti pada perilaku seksual orang dewasa. Keterangsanganya juga berbeda, walau anak bisa menikmati. "Jika pada orang dewasa, untuk mencapai kepuasan seksual menggunakan organ seksualnya dengan perilaku seksual. Maka pada anak, ‘seksual’nya lebih pada kalau penisnya dipegang, disentuh, dan dielus. Itu menimbulkan rasa nikmat." Walaupun demikian, tak membuat anak ereksi. Ereksi pada anak yang berumur prasekolah jelas berbeda dengan orang dewasa. "Biasanya pada anak, ereksi akan muncul di pagi hari setelah bangun tidur, mau kencing atau setelah kencing." Namun sekali lagi, sekalipun fokusnya bukan pada seksual, tapi jangan pernah bosan mengingatkan anak untuk tak mempermainan alat genitalnya.
Kadang tanganya aku sentil dech, dikaish tahu nggak ngerti juga nih..hehhe, ternyata menurut artikel di bawah nggak boleh dimarahin ya..:(. Maafkan daku ya darling. peace ya Iq.
************************************************************************
TAK USAH PANIK MENDAPATI ANAK "MASTURBASI"
Wajar, kok, bila si kecil memainkan alat kelaminnya karena memang sedang fasenya. Tapi, tetap harus dicegah dan ditangani secara tepat.
Umumnya, orang tua langsung panik kala mendapati anak prasekolahnya memegang-megang atau memain-mainkan alat kelaminnya. Hingga, dimarahilah si anak. Padahal, seperti diungkap Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, Psi.MM, dari LPT UI, Jakarta, perilaku demikian wajar terjadi pada anak usia 3-6 tahun. "Anak usia ini memang suka bermain-main dengan alat genitalnya untuk mencapai kenikmatan. Sebab, pusat kenikmatan anak di usia ini berada di sekitar alat genitalnya, yang disebut fase phallic."
Lebih jauh dijelaskan Ratih, fase phallic merupakan bagian dari proses perkembangan anak. Awalnya, dari usia 1-1,5 tahun, pusat kenikmatan anak berada di mulut, disebut fase oral. Itulah mengapa, di usia tersebut anak senang sekali memasukkan segala sesuatu ke mulut. Berikutnya, pada umur 1,5-3 tahun, anak berada pada fase anal; dia mulai menahan keinginan BAB-nya. Selanjutnya, anak mengalami fase phallic. "Fase ini biasanya akan berhenti sampai anak berumur 6 tahun."
HARUS DICEGAH
Jadi, tahapan ini merupakan fase yang normal, ya, Bu-Pak. Bukan berarti si kecil tengah melakukan masturbasi. Walau begitu, kita tak boleh membiarkan si kecil asyik memainkan alat kelaminnya. Sebab, terang Ratih, "Jika sudah menjadi kebiasaan, maka inilah yang dinamakan dengan masturbasi."
Untuk itu, kita harus mencegahnya. Namun, jangan lantas kita girap-girap alias panik; berteriak-teriak atau marah, bahkan memukuli anak kala melihatnya tengah memainkan alat kelaminnya. Cukup katakan dengan tenang kepadanya, "Kak, penisnya jangan dibuat mainan, nanti lecet, lo." Atau, "Jangan sering melakukan itu, ya, Kak, supaya vaginanya enggak lecet. Kalau lecet, nanti kalau mau pipis, sakit lo." Selanjutnya, alihkan perhatian anak. Pindahkan tangannya dari aktivitasnya itu, lalu beri mainan yang menarik minatnya. Bila perlu, ajak dan temani anak bermain, hingga ia lupa dengan aktivitasnya tadi.
Jika orang tua bekerja, pesan Ratih, sebaiknya pesankan kepada pengasuh agar melakukan hal yang sama. Minta si pengasuh untuk menegur dan mengingatkan anak kala kedapatan tengah melakukan aktivitas tersebut. Juga, minta dia sering mengajak anak bermain hingga anak lupa pada aktivitasnya itu.
TANGANI SECARA TEPAT
Yang jelas, dalam menyampaikan larangan kepada anak, jangan sampai menunjukkan rasa panik. Ingat, anak seusia itu punya rasa ingin tahu. Jika ia melihat respon dari orang tua atau lingkungannya demikian, anak akan merasa, "Ini ada apa, sih? Pasti ada yang menarik di sini." Maka dia akan terus melakukan aktivitas itu, bahkan akan jadi makin terfokus ke sana. Jadi, kebiasaan melakukan masturbasi bisa terjadi pada penanganan yang tak tepat.
Apalagi, anak sebenarnya memegang-megang alat kelaminnya tanpa berpikir panjang. "Pokoknya, enak dipegang. Lalu karena respon ibunya keliru, misal, jadi marah, histeris, atau anaknya dipukuli, tanpa sadar ini justru memacu anak untuk lebih sering memainkan alat genitalnya atau semacam mendapat stimulus. Mungkin ia melakukan kebiasaan tersebut dengan cara mencuri-curi."
Nah, karena merasa nikmat, anak akan melakukan itu secara terus-menerus. Bahkan bisa hingga masa pubertasnya. Pada masa pubertas, stimulasinya akan berbeda lagi. "Mungkin tadinya cuma geli-geli saja, begitu sudah remaja, akan ada fantasi seksual yang menyertai atau ada perilaku seksual tertentu yang menyertai."
Selain itu, karena mendapat stimulus terus, bisa terjadi penis si Buyung akan berdiri. "Bisa saja saat itu anak mendekat kepada ibunya dan menggosok-gosokkan penisnya kepada ibunya. Kalau ibunya lantas girap-girap atau ‘heboh’, anak bisa melakukan terus atau malah mencari objek lain." Lain hal jika si ibu memberitahu, "Kak, stop! Jangan begitu, dong. Tuh, lihat di televisi ada apa?" Atau, "Ayo kita bermain." Jadi perilaku anak yang distop.
Sebab, bagaimanapun, papar Ratih, yang namanya masturbasi seperti kecanduan narkoba. Ada levelnya. "Pertama cuma pegang-pegang, lalu makin lama makin berkembang menjadi advanced. Selanjutnya jadi makin canggih dengan tingkat kerumitan yang makin tinggi." Kalau ini menjadi kebiasaan, mungkin kelak alat genitalnya tak bisa berfungsi secara wajar saat akan berhubungan dengan istrinya. Namun bila penanganannya tepat, biasanya pada umur 6 tahun kebiasaan memegang-megang alat kelamin atau "masturbasi" ini akan hilang sendiri.
BEDA DENGAN ORANG DEWASA
Memang, aku Ratih, reaksi spontan orang tua yang marah atau teriak, lebih karena ia belum tahu perilaku "seksual" anak-anak. Biasanya orang tua mengira perilaku seksual anak akan sama dengan perilaku orang dewasa. Padahal, pada masa kanak-kanak, anak masih makhluk aseksual karena ia belum mengalami pubertas.
Jadi, orientasi anak bukan seperti pada perilaku seksual orang dewasa. Keterangsanganya juga berbeda, walau anak bisa menikmati. "Jika pada orang dewasa, untuk mencapai kepuasan seksual menggunakan organ seksualnya dengan perilaku seksual. Maka pada anak, ‘seksual’nya lebih pada kalau penisnya dipegang, disentuh, dan dielus. Itu menimbulkan rasa nikmat." Walaupun demikian, tak membuat anak ereksi. Ereksi pada anak yang berumur prasekolah jelas berbeda dengan orang dewasa. "Biasanya pada anak, ereksi akan muncul di pagi hari setelah bangun tidur, mau kencing atau setelah kencing." Namun sekali lagi, sekalipun fokusnya bukan pada seksual, tapi jangan pernah bosan mengingatkan anak untuk tak mempermainan alat genitalnya.
Erni Koesworini.Foto:Iman Dharma(nakita)
http://www.tabloid-nakita.com/
- mahadewi
anak-anak memang begitu….
http://www.tabloid-nakita.com/
- mahadewi
anak-anak memang begitu….
0 komentar:
Posting Komentar