14 Juli 2009

Budaya Cerdas Menonton Televisi


Indonesia Berhadapan dengan "Mediamorfosis" Ketiga

BANDUNG, KOMPAS - Upaya menghindari dampak nega tif tayangan televisi tidakbisa dilakukan dengan ekstrem, yai tu menutup diri dari lembaga penyiaran ini. Sebaliknya, yang diperlukan kini adalah penguatan basis masyarakat, yaitu melalui dorongan budaya cerdas menonton televisi.

Denganberkembangnyapolapi kir ini, secara sendirinya akan me nguatkan posisi tawar masyarakat terhadap industri televisi. Demiki an pokok pikirati.yang mengemuka dalam Lokakarya Bandung TV Watch yang digelar dari Rabu (24/1) hingga Kamis kemarin di Hotel Yehezkiel, Bandung.

Ketua Umum Bandung TV Watch Didin Sabarudin mengata kan, pada dasarnya tidaklah bijak jika sebagian masyarakat, khusus nya yang kritis, memilih apriori terhadap tayangan televisi. Meng ingat, masih banyaknya potensi positif dari televisi, baik berupa in formasi maupun tayangan hiburan yang mendidik.

"Yang lebih penting, kini bagai mana caranya agar masyarakat sendiri bisa cerdas, yaitu memilih dan memilah mana yang layak di tonton ataupun tidak. Jika ini su dah mantap terlaksana, dengan sendirinya akan memberi dampak bagi penyedia tayangan televisi un tuk mengubah materinya agar ti dak merusak," ujar anggota Dewan Pembina Bandung TV Watch Yayat Hendayana.

Kania Roesli, salah seorang akti vis, mengatakan, pada prinsipnya budaya cerdas menonton televisi merupakan proses dua arah, baik masyarakat maupun pelaku indus tri televisi itu sendiri.
Masyarakat cerdas adalah mere ka yang sudah bisa memilah dan kritis memandang sebuah tayang an televisi. Sebaliknya, televisi yang cerdas adalah lembaga yang menyajikan tayangan-tayangan berita maupun hiburan secara mendidik. "Sejatinya, tontonan cerdas adalah tayangan yang ikut membangun karakter baik bangsa. Bukan sebaliknya. Masyarakat kini merindukan tayangan-tayangan hiburan mendidik, seperti sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Buktinya, tayangan yang sarat budaya dan pesan moral ini tetap laku, bahkan digemari masyarakat. Jadi, sekarang tinggal bergantung pada krea tivitas pelaku televisi saja," kata istri almarhum Harry Roesli ini.

"Mediamorfosis"
Dalam kesempatan yang sama, pengamat Ilmu Komunikasi dari Universitas Pasundan Cecep Suhaeli mengatakan, Indonesia sa at ini tengah mengalami gejala me diamorfosis tahap ketiga. Artinya, sebuah kondisi di mana masyara kat secara sistematis dikepung oleh pengaruh media visual dan elektronik.
Ironisnya, masyarakat sendiri belum sepenuhnya siap mengha dapi kondisi ini. "Jadi, masyarakat kita sebetulnya prematur, melon cati mediamorfosis tahap kedua. Belum sempat tumbuh readingso ciety (budaya membaca), sudah harus menghadapi yang lain. Da lam mediamorfosis tahap ketiga, sangat penting dikembangkan me dia literacy (melek media). Inilah yangbelum ada," paparnya. (JON)

Kompas, Sabtu, 27 Januari 2007 halaman k

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal