28 Desember 2011

Kujang




DEFINISI
Kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala. Kudi atau kudhi juga dapat diartikan sebagai alat bantu pekerjaan untuk membelah atau memotong benda keras, seperti parang. Sebagaimana parang, kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai celurit tetapi bagian pangkalnya membesar. Bentuk kudi yang lebih langsing dapat dipergunakan sebagai senjata. Senjata kujang dianggap sebagai kembangan dari kudi.

Hyang (dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, dan Bali) adalah suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural. Keberadaan spritual ini dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur. Kini dalam bahasa Indonesia istilah ini cenderung disamakan dengan Dewa, Dewata, atau Tuhan. Tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan, yang kini disamakan dengan konsep surga.Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti "menghilang" atau "tak terlihat". Diduga kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Pada perkembangannya istilah "hyang" menjadi akar kata beberapa nama, sebutan, dan istilah yang hingga kini masih dikenal di Indonesia (Wikipedia).

Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.


BAGIAN BAGIAN KUJANG
  1. Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
  2. Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
  3. Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
  4. Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
  5. Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
  6. Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
  7. Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
  8. Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
  9. Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
  10. Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
  11. Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
  12. Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
  13. Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang. (Kaskus)
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka. 

SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan
di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.

Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.

Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).

BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7. Kudi; perkakas sejenis kujang.

Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan). 

KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.

Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
  1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
  2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
  3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
  4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
  5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar,Mantri Karang, dan Mantri Jero);
  6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
  7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
  8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.

Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.

Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.

Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
 
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
  1. Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
  2. Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
  3. Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
  4. Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
  5. Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
  6. “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan. Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah “Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan “Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.

CARA MEMBAWA KUJANG
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
  1. Disoren; yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
  2. Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
  3. Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
  4. Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.

CARA MENGGUNAKAN KUJANG
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).

Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.

PEMILIK KUJANG
pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan status sosialnya dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya hanya digunakan untuk bertani dan berladang.

Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut, kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama, kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh negeri.

Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu, Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang, Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.

Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang, Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk kaum perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).
JENIS KUJANG DAN PEMEGANGNYA

KUJANG CIUNG Mata 9
- Pegangan Raja-raja Sunda
- Brahmesta(Pandita Agung)

KUJANG CIUNG mata 7
- Prabu Anom
- Mantri Dangka
- Pandita

KUJANG CIUNG mata 5
- Geurang Serat
- Bupati
- Geurang Puun

KUJANG CIUNG mata 5 Wesi Kuning
- Para Putri Menak Pakuan

KUJANG CIUNG mata 3
- Para Puun

KUJANG CIUNG mata 1
- Guru Tangtu Agama
- Pangwereg Agama

KUJANG JAGO mata 4
- Para Balapati
- Para Lulugu
- Para Sambilan

KUJANG KUNTUL mata 4
- Para Patih

KUJANG BANGKONG
- Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Teupa, Guru Cucuk, Guru Alas, jsb

KUJANG NAGA
- Para Kanduru
- Para Jaro

KUJANG BADAK
-Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang, Bareusan, Parajurit, Pangwelah, Paratulup, Pangawin, Kokolot, Sarawarsa.


Sumber:
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Hyang
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Kudi
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Kujang
  • http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10318687
  • Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
  • wahyukujang.wordpress.com
  • budi "DALTON" art.

Struktural Fungsionalisme dan Strukturalisme Levi – Staruss


Mahzab strukturalisme yang berkembang, bermula dari konsep Linguistik Struktural yang dikembangkan oleh Saussure. Menurutnya, bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Saussure membedakan tiga jenis bahasa dalam konsepnya, yaitu Signifier – Signified, Arbitrer, dan Differences. Signifier dan Signified berbeda satu sama lain. Signifier adalah petanda, bisa dipahami karena adanya signified. Sedangkan signified adalah penanda, apapun yang ditangkap oleh panca indera. Misalnya saja MACAN, bunyi M-A-C-A-N dan konsep MACAN adalah hal yang berbeda. Bunyi M-A-C-A-N adalah signifier, sedangkan konsep MACAN adalah signified. Ketika bunyi M-A-C-A-N dilontarkan maka konsep MACAN yang terwujudkan dengan bentuk macan itu sendiri akan muncul. Dengan demikian maka kata macan selalu merepresentasikan macan yang ideal. Arbitrer adalah sembarang. M-A-C-A-N bisa menjadi konsep MACAN, tidak ada sebab khusus bahwa tulisan macan menandakan konsep macan. Bunyi macan yang menggambarkan seekor macan, tidak ada sebab khusus antara macan sebagai bunyi bahasa dan macan sesungguhnya. Semuanya adalah sembarang, tidak memiliki sebab khusus. Difference adalah perbedaan. Bahasa dibentuk berdasarkan rantai perbedaan-perbedaan yang membentuk jaringan. Konsep “macan” ada karena hubungannya dengan konsep “non-macan”, misalnya, harimau, serigala, ayam, dll. Perbedaan inilah yang menjadi elemen dasar struktur pembentukan bahasa. Bahasa diaggap sebagai alat representasi ideal. Sebagai pemakai bahasa—terlepas dari kemampuan alat artikulasi mencipta bunyi—kita tunduk pada struktur jaringan tersebut (differences yang membentuk grammar). Kita tidak menciptakan bahasa, melainkan bahasa menciptakan kita. “Language that speaks us” (Heidegger). Kemudian strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss adalah beberapa konsep cara berpikir akal manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal (Koentjaraningrat, 1987: 233). Dalam melihat struktur bahasa, Strauss tetap menggunakan metode linguistik Saussure untuk menginvestigasikan kebudayaan. Kebudayaan bisa direduksi ke dalam bentuk oposisi biner (0-1). Maksudnya adalah adanya elaborasi dari differences, hubungan hirarkis dengan prinsip umum 0-1, pemahaman bahwa 0-1 selalu bersifat berlawanan dan beroposisi, serta relasi antara 0 dan 1 bersifat natural, stabil, dan objektif. Strukturalisme disini bersifat anti-humanis, untuk memahami struktur, manusia sebagai subjek harus dipisahkan secara radikal dari kebudayaan. Tugas antropologi struktural disini adalah untuk melakukan investigasi terhadap deep structure. Misalnya dalam menganalogikan orkes simfoni. Seorang struktural-fungsionalis akan datang ke konser musik dan tertarik pada peranan-peranan dan status-status yang membentuk organisasi sosial orkes simfoni. Kemudian dia akan meminta partitur dan menginvestigasi deep structure lewat susunan nada, aransemen sebagai fakta “matematis”, oposisi biner yang objektif. Sedangkan post-stukturalisme muncul sebagai reaksi atau pisau dari strukturalisme yang sinkronis dan anti-humanistis. Hal itu dilakukan dengan cara mengembalikan dimensi subjek dan waktu dalam mengalami struktur. Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik strukturalisme adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme. Derrida mengkategorikan lima hal dalam melihat struktur di masyarakat, yaitu Différance, Différance dan lokasi makna, Deconstruction, Truth, dan Identity. Différance adalah suatu proses bersamaan antara membedakan (differ); dan menunda (defferal) dalam mengerti meaning. Teks (dalam artian harafiah) menjadi fokus utama karena merupakan elemen satu-satunya yang memiliki makna sendiri dan stabil. Di luar teks, pemahaman akan makna kita terbentuk oleh proses Différance yang membuat multiple meanings, dan (makna) tidak stabil. Différance dan lokasi makna. Derrida setuju bahwa makna hadir karena chain of differences, (Saussure), tapi pemaknaan manusia (sebagai speaking subject) selalu mengalami penundaan (defer). Akibatnya pemaknaan tidak pernah sampai ke pendengar secara sempurna. Lalu, konsekuensinya adalah relasi signifier-signified tidak pernah stabil. Jika menurut Saussure, makna berada di luar kata (signifier) yaitu dalam alam konseptual dan merupakan hasil konvensi kebahasaan. Namun, menurut Derrid, makna “yang sesungguhnya” berada dalam kata (bersenyawa). Manusia memperoleh makna teks secara “aksidental” sebagai sesuatu yang ambigu, dan multiple meanings (akibat defferal). Pemaknaan adalah proses yang terjadi di jembatan antara 0 dan 1. Deconstruction. Sebuah makna tidak pernah sempurna (floating), oleh karena itu konstruksi deep structure selalu bersifat labil, ambigu dan temporer. Satu-satunya yang “tersisa” adalah kata sebagai unit terkecil yang mendefinisikan diri sendiri (self-defined). Dekonstruksi membuka kemungkinan baru dalam peristiwa relasi self – other yang tidak dibahas strukturalisme, yaitu proses. Truth adalah kebenaran. Truth dilihat sebagai konstruksi yang bisa dibongkar karena kebenaran hakiki (the ultimate truth) hanya ada dalam alam teks dalam arti harfiah. Kebenaran disini tidaklah bersifat kekal, melainkan temporer, ambigu, dan mengandung banyak arti dan makna. Identity adalah tinjauan kritis terhadap konstruksi dan dekonstruksi sampai pada kategori sosial terkecil yaitu identitas sosial. Identitas tidak lagi dipandang sebagai kategori sosial yang mapan (fixed), tapi selalu berada dalam wilayah “in-between” yang “ambigu” (antara 0 dan 1, self-other). Maka bisa saja saling bertentangan, saling berkompetisi, bisa tersembunyi sebagai residu untuk kemudian muncul sebagai sesuatu yang lain. Batas antara identitas adalah hasil difference, tapi mekanisme oposisi biner. Self-Other, Us-We, Inside-Outside bisa sangat subjektif dan seringkali tergantung pada Power. Maka studi-studi identitas marginal menjadi terkuak, seperti black people, gay, transvestites, asylum seekers, refugees, borderlanders, post-colonial subjects, diasporic culture. Kemudian faucoult muncul atas reaksi terhadap strukturalisme Saussure yang menekankan pada relasi-relasi difference dalam sistem bahasa untuk memahami tanda. Menurutnya, sejarah yang membentuk umat manusia bukan terbangun oleh relasi-relasi difference kebahasaan, melainkan relasi-relasi antar power dalam arus sejarah. Ada banyak hal yang dapat berguna bagi antropolog yang menggunakan mahzab post-strukturalisme untuk mempelajari kebudayaan. Antropolog akan melihat bahwa pemahaman akan sebuah bahasa adalah hal yang penting. Dia tidak bisa menganggap sebuah kata yang dimengerti itu dapat dimengerti dengan konsep yang sama oleh orang lain. Proses yang terjadi di dalam pemaknaan sebuah kata juga akan diperhitungkan, tidak semuanya dapat diterima dengan mudahnya. Antropolog juga harus mengembalikan dimensi subjek dan waktu dalam mengalami dan memahami struktur. Manusia, sebagai subjek, dianggap sebagai hal yang penting dalam memahami sebuah struktur, serta waktu yang terjadi didalamnya, atau sejarah. Dalam memahami sebuah struktur, antropolog juga tidak boleh menghilangkan kebenaran. Di setiap penelitiannya, tidak semua hal yang dikatakan dan dilihat pada waktu yang singkat dapat dianggap benar karena kebenaran itu temporer. Kemudian pembentukan identitas yang berlaku di masyarakat juga dipengaruhi oleh sebuah ‘power’. Power ini lah yang membentuk dan mengkonstruksi identitas yang berlaku di masyarakat. Oleh sebab itu, antropolog harus melihat struktur dari berbagai lapisan. Tidak hanya dari satu lapisan yang memiliki power dan menjadi dominan. Madzhab ini akan lebih membuat seorang antropolog dapat lebih mudah menggambarkan dan mengerti akan sebuah kebudayaan, dan kebudayaan itu bersifat benar, tidak ada unsur yang dihilangkan karena banyak kemungkinan yang terjadi dapat diperhitungkan. Kebudayaan itu bersifat kompleks, maka madzhab ini lah yang dapat menginterpretasikannya. 

Sumber:
Sri Fitri Ana, Antroplogi, Universitas Indonesia

Rancangan Penelitian Etnografi menurut Creswell


Rancangan penelitian etnografi menurut Creswell (2003) yaitu setelah menentukan jenis pendekatan penelitian (kualitatif, kuantitatif, atau metode campuran) langkah selanjutnya adalah merancang atau merencanakan penelitan. Langkah ini diawali dengan membuat pendahuluan proposal sebagai proses mengatur dan menulis gagasan awal. Peneliti perlu menerapkan model diferensiasi ketika menulis pendahuluan karena komponen-komponen utama dalam pendahuluan adalah menunjukan diferensiasi-diferensiasi dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Tujuan pendahuluan adalah membangun kerangka penelitian sehingga pembaca dapat memahami bagaimana penelitian tersebut berhubungan dengan penelitian-penelitian yang lain. Pendahuluan menjelaskan suatu isu yang dapat menuntun pada penelitian. Pendahuluan harus membuat pembaca tertarik pada topik penelitian, menjabarkan masalah yang dapat menuntun pada penelitian, meletakan penelitian dalam konteks yang lebih luas, dan menjangkau audien tertentu.
Masalah penelitan merupakan masalah atau isu yang menuntun pada keharusan dilaksanakannya penelitan tersebut. Masalah bisa timbul dari berbagai sumber. Bisa dari perasaan peneliti, dari perdebatan, literatur-literatur, atau dari kebijakan pemerintahan. Masalah bisa sangat beragam. Peneliti harus jelas melakukan identifkasi masalah penelitian.
Pendahuluan pada umumnya selalu mengikuti pola yang sama, yaitu: menyatakan rumusan masalah, lalu menjustifikasi mengapa masalah tersebut perlu diteliti. Pada proyek kualitatif, peneliti mendeskripsikan masalah penelitian yang benar-benar mudah dipahami dengan cara mengeksplorasi suatu konsep atau fenomena tertentu. Penelitian kualitatif bersifat eksploratoris, dan peneliti memanfaatkan pendahuluan untuk mengeksplorasi suatu topik yang tidak bisa diidentifikasi variable-variabel ataupun teorinya.
Penelitian kualitatif juga fokus pada perspektif partisipan. Pendahuluan kualitatif bisa dimulai dengan pernyataan-pernyataan personal dari peneliti tentang pengalama pribadi memandang suatu fenomena secara subtansial seperti pada penelitian fenomenologis (Moustakas, 1994).
Metode campuran dapat memilih untuk lebih mengutamakan pendekatan kualitatif atau kuantitatif (atau dikombinasikan keduanya dalam pendahuluan). Namun dari ketiga jenis penelitan tersebut komponen utama yang perlu dimasukan ke dalam pendahuluan pada umumnya berhubungan dengan jenis-jenis masalah yang dibahas. Untuk itu diperlukan suatu model ilustratif tentang bagaimana pendahuluan yang baik tanpa perlu memandang pendekatan-pendekatan dan komponen-komponen yang harus disertakan.
Model diferensiasi pendahuluan terdiri dari masalah penelitian, penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas masalah tersebut, kekurangan-kekurangan (difisiencies) dalam penelitian-penelitan sebelumnya, pentingnya penelitian untuk audiens tertentu, dan tujuan penelitan.
Peneliti harus memandang literatur dengan pola segitiga terbalik. Pada ujung segitiga itu terdapat penelitian yang diajukan. Penelitian ini haruslah sempit dan terfokus. Setelah menjabarkan masalah penelitian dan mereview sejumlah penelitian lain yang relevan, peneliti kemudian mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penelitian tersebut. Identifikasi semacam ini sering dikenal dengan istilah model difisiensi. Peneliti hendaknya menulis alasan atau rasionalisasi tentang pentingnya penelitian yang diajukan.
Menurut Locke (2007:9), tujuan penelitian berarti menunjukan “mengapa ingin melakukan penelitian dan apa yang ingin dicapai.” Dikenal dengan tujuan-tujuan penelitian karena ia menggambarkan tujuan-tujuan dilakukannya penelitian dalam satu atau beberapa kalimat. Dalam proposal peneliti haruslah membedakan secara jelas antara tujuan penelitian, masalah penelitian, dan rumusan masalah. Tujuan penelitian mengindikasikan maksud penelitian, dan bukan masalah atau isu yang dapat menuntun pada keharusan diadakannya penelitian. Tujuan penelitian bukanlah rumusan masalah penelitian yang didalamnya mengandung sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang akan terjawab dalam penelitian. Tujuan penelitian adalah kumpula pernyataan yang menjelaskan sasaran, maksud-maksud, atau gagasan-gagasan umum diadakanya suatu penelitian.
Tujuan penelitian kualitatif pada umumnya mencakup informasi tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipasi penelitian, dan lokasi penelitian. Tujuan penelitan kualitatif juga bisa menyatakan rancangan penelitian yang dipilih. Tujuan penelitian kuantitatif meliputi variable-variabel dalam penelitian dan hubungannya antar variabel tersebut, para partisipan dan lokasi penelitan. Tinjauan ini ditulis dengan bahasa-bahasa yang berhubungan dengan penelitian kualitatif. Pada uraian tujuan penelitian harus menunjukan variable bebas dan variable terikat, serta variable lain (antara) seperti mediate, moderate, atau control, yang digunakan dalam penelitian. Sebutkan juga jenis strategi penelitian seperti survei atau eksperimen. Jangan lupa juga untuk mendefinisikan variable-variabel kunci.

Tujuan metode campuran berisi tujuan penelitian secara keseluruhan, informasi mengenai unsur-unsur penelitan kuantitatif dan kualitatif, dan alasan rasionalisasi mencampur dua unsur tersebut untuk masalah penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menyatakan rumusan masalah, bukan sasaran penelitian (seperti hasil-hasil akhir yang ingin diperoleh dalam penelitian) ataupun hipotesis-hipotesis. Rumusan masalah untuk penelitian kualitatif mengandaikan dua bentuk: satu rumusan masalah utama dan beberapa subrumusan masalah spesifik. Rumusan masalah utama merupakan pertanyaan-pertanyaan umum tentang konsep atau fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor kompleks yang berada di sekitar fenomena utama dan menyajikan perspektif-perspektif atau makna-makna yang beragam dari para partisipan.

Teori dalam penelitian kualitatif menggunakan teori dalam penelitian untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Pertama dalam penelitian kualitatif teori sering kali digunakan sebagai penjelasan atas perilaku dan sikap-sikap tertentu. Kedua peneliti kualitatif seringkali menggunakan perspektif teoritis sebagai panduan umum untuk meneliti misalnya gender atau kelas. Ketiga teori seringkali digunakan sebagai poin akhir penelitian pada penelitian kualitatif. Keempat, beberapa penelitian kualitatif tidak menggunakan teori yang terlalu eksplisit.

Sumber:
Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia

Etnografi


Ethnografi adalah sebuah ilmu yang mempelajari perilaku kebudayaan. Holistik adalah kata kunci dalam ilmu ini. Dengan demikian, peneliti tidak hanya tertarik pada satu bidang masalah saja karena setiap perilaku manusia akan memiliki keterkaitan, latar belakang dengan hal-hal lainnya.Penelitian diawali dengan prasangka terhadap perilaku sebuah komunitas. Teori dan hipotesis digunakan sebagai dasar dari pemuatan prasangka. Kegunaannya adalah sebagai batasan agar prasangka peneliti tidak terlalu luas tetapi menjurus pada hal yang lebih spesifik.

Teori sendiri memiliki beberapa definisi, tetapi pada intinya teori merupakan sesuatu yang empiris. Hipotesis adalah pernyataan dari beberapa prediksi yang diyakini kebenarannya dari asumsi-asumsi yang ada. Asumsi-asumsi dihubungkan dengan teori yang ada apakah relevan atau tidak. Hipotesis merupakan hubungan antar variabel. Variabel dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan yang diberikan pada informan melalui kuesioner, tes psikologi, sensus, atau games yang dilakukan dalam laboratorium. Kelompok atau grup yang akan diteliti harus diidentifikasi terlebih dahulu sebagai subjek penelitian. Dalam memilih subjek penelitian, menentukan sampel dapat dilakukan dengan teknik random atau bukan random.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian etnografi adalah  kualitatif dengan menggunakan teknik observasi partisipan. Teknik ini memaksa peneliti untuk bergaul dengan komunitas. Agak lama memang jangka waktu yang digunakan dalam teknik ini karena peneliti harus dapat mengetahui pola pikir komunitas tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut tergantung dari kepekaan peneliti terhadap obyek yang ditelitinya.

ntinya, seorang etnografer dalam melakukan penelitian etnografi melihat masyarakat dan membandingkannya dengan konteks tertentu, kemudian membuat hipotesis berdasarkan teori yang dipakai dengan sebelumnya mengujicobakan hipotesis tersebut, apakah sesuai atau tidak, dan kemudian terjun lapangan dengan ikut terlibat sebagai bagian dari partisipan penelitian, serta dalam penulisannya dengan menggunakan analisis holistic perspective yang bersifat menyeluruh.

Sumber:
Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia

27 Desember 2011

Tanaman Obat Keluarga



Pengertian TOGA

Toga adalah singkatan dari tanaman obat keluarga. Tanaman obat keluarga pada hakekatnya sebidang tanah baik di halaman rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan. Kebun tanaman obat atau bahan obat dan selanjutnya dapat disalurkan kepada masyarakat , khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Pemanfaatan Tanaman Obat

Sejak terciptanya manusia di permukaan bumi, telah diciptakan pula alam sekitarnya mulai dari sejak itu pula manusia mulai mencoba memanfaatkan alam sekitarnya untuk memenuhi keperluan alam bagi kehidupannya, termasuk keperluan obat-obatan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan obat-obatan asal bahan alam tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan peranannya dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan masyarakat.

Pemanfaatan TOGA yang digunakan untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala umum adalah:

   1. Demam panas
   2. Batuk
   3. Sakit perut
   4. Gatal-gatal

Jenis-jenis Tanaman Untuk TOGA

Jenis tanaman yang harus dibudidayakan untuk tanaman obat keluarga adalah jenis-jenis tanaman yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1.       Jenis tanaman disebutkan dalam buku pemanfaatan tanaman obat.
2.       Jenis tanaman yang lazim digunakan sebagai obat didaerah pemukiman.
3.       Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan hidup dengan baik di daerah pemukiman.
4.       Jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain misalnya: buah-buahan dan bumbu masak
5.       Jenis tanaman yang hampir punah
6.       Jenis tanaman yang masih liar
7.       Jenis tanaman obat yang disebutkan dalam buku pemanfaatan tanaman adalah tanaman yang sudah lazim di tanam di pekarangan rumah atau tumbuh di daerah pemukiman.

Fungsi Toga

Salah satu fungsi Toga adalah sebagai sarana untuk mendekatkan tanaman obat kepada upaya-upaya kesehatan masyarakat yang antara lain meliputi:

   1. Upaya preventif (pencegahan)
   2. Upaya promotif (meniungkatkan derajat kesehatan)
   3. Upaya kuratif (penyembuhan penyakit)

Selain fungsi diatas ada juga fungsi lainnya yaitu:

1.       Sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat, sebab banyak tanaman obat yang dikenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan atau sayur-sayuran misalnya lobak, saledri, pepaya dan lain-lain.
2.       Sarana untuk pelestarian alam.
3.       Apabila pembuatan tanaman obat alam tidak diikuti dengan upaya-upaya pembudidayaannya kembali, maka sumber bahan obat alam itu terutama tumbuh-tumbuhan akan mengalami kepunahan.
4.       Sarana penyebaran gerakan penghijauan.
5.       Untuk menghijaukan bukit-bukit yang saat ini mengalami penggundulan, dapat dianjurkan penyebarluasan penanaman tanaman obat yang berbentuk pohon-pahon misalnya pohon asam, pohon kedaung, pohon trengguli dan lain-lain.
6.       Sarana untuk pemertaan pendapatan.
7.       Toga disamping berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan bahan obat bagi keluarga dapat pula berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi keluarga tersebut.
8.       Sarana keindahan.


Dengan adanya Toga dan bila di tata dengan baik maka hal ini akan menghasilkan keindahan bagi orang/masyarakat yang ada disekitarnya. Untuk menghasilkan keindahan diperlukan perawatan terhadap tanaman yang di tanam terutama yang ditanam di pekarangan rumah.


PETUNJUK PENGGUNAAN TANAMAN OBAT

Dalam menggunakan tumbuhan obat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga hasil pengobatan yang maksima. Bacalah dengan seksama semua petunjuk seputar timbuhan obat di bawah ini.

   1. A. WAKTU PENGUMPULAN

      Guna mendapatkan bahan yang terbaik dari tumbuhan obat, perlu diperhatikan saat-saat pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat.

      Berikut ini pedoman waktu pengumpulan bahan obat secara umum.
·         Daun dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah menjadi masak.
·         Bunga dikumpulkan sebelum atau segera setelah mekar.
·         Buah dipetik dalam keadaan masak.
·         Biji dikumpulkan dari buah yan g masak sempurna.
·         Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) dikumpulkan sewaktu proses tumbuhan berhenti.


   2. PENCUCIAN DAN PENGERINGAN

      Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera dicuci bersih, sebaiknya dengan air yang mengalir. Setelah bersih, dapat segera dimanfaatkan bila diperlukan pemakaian yang bahan segar. Namun, bisa pula dikeringkan untuk disimpan dan digunakan bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

      Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mengcegah pembusukan oleh cendawan atau bakteri. Dengan demikian, bahan dapat disimpan lebih lama dalam stoples atau wadah yang tertutup rapat. Bahan kering juga mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.

      Berikut ini cara mengeringkan bahan obat :

·         Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat dipotong-potong seperlunya terlebih dahulu.
·         Pengeringan bisa langsung dibawah sinar matahari, atau memakai pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan yang tidak terlalu cepat.
·         Pengeringan bisa juga dilakukan dengan mengangin-anginkan bahan ditempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang aliran udaranya baik.


   3. SIFAT DAN CITA RASA

      Didalam Traditional Chinese Pharmacology dikenal 4 macam sifat dan 5 macam cira rasa tumbuhan obat, yang merupakan bagian dari cara pengobatan tradisional timur. Adapun keempat macam sifat tumbuhan obat itu ialah dingin, panas, hangat, dan sejuk. Tumbuhan obat yang sifatnya panas dan hangat dipakai untuk pengobatan sindroma dingin, seperti pasien yang takut dingin, tangan dan kaki dingin, lidah pucat atau nadi lambat. Tumbuhan obat yang bersifat dingin dan sejuk digunakan untuk pengobatan sindroma panas, seperti demam, rasa haus, warna kencing kuning tua, lidah merah atau denyut nadi cepat.

      Lima macam cita rasa dari tumbuhan obat ialah pedas, manis, asam, pahit, dan asin. Cita rasa ini digunakan untuk tujuan tertentu karena selain berhubungan dengan organ tubuh, juga mempunyai khasiat dan kegunaan tersendiri. Misalnya rasa pedas mempunyai sifat menyebar dan merangsang. Rasa manis berkhasiat tonik dan menyejukan. Rasa asam berkhasiat mengawetkan dan pengelat. Rasa pahit dapat mengilangkan panas dan lembab. Sementara rasa asin melunakkan dan sebagai pencahar. Kadang-kadang ada juga yang menambahkan cita rasa yang keenam, yaitu netral atau tawar yang berkhasiat sebagai peluruh kencing.


   4. CARA MEREBUS RAMUAN OBAT

      Perebusan umumnya dilakukan dalam pot tanah, pot keramik, atau panic email,. Pot keramik dapat dibeli di took obat tradisional Tionghoa. Panic dari besi, alumunium atau kuningan sebaiknya tidak digunakan untuk merebus. Hal ini diingatkan karena bahan tersebut dapat menimbulkan endapan, konsentrasi larutan obat yang rendah, terbentuknya racun atau menimbulkan efek samping akibat terjadinya reaksi kimia dengan bahan obat.

      Gunakan air yang bersih untuk merebus. Sebaiknya digunakan air tawar, kecuali ditentukan lain. Cara merebus bahan sebagai berikut. Bahan dimasukkan ke dalam pot tanah. Masukkan air sampai bahan terendam seluruhnya dan permukaan air sekitar 30 mm diatasnya. Perebusan dimulai bila air telah meresap kedalam bahan ramuan obat.

      Lakukan perebusan dengan api sesuai petunjuk pembuatan. Apabila nyala api tidak ditentukan, biasanya perebusan dilakukan dengan api besar sampai airnya mendidih. Selanjutnya api dikecilkan untuk mencegah air rebusan meluap atau terlalu cepat kering. Meski demikian, adakalanya api besar dan api kecil digunakan sendiri-sendiri sewaktu merebus baha obat. Sebagai contoh, obat yang berkhasiat tonik umumnya direbus dengan api kecil sehingga zat berkhasiatnya dapat secara lengkap dikeluarkan dalam air rebusan. Demikian pula tumbuhan obat yang mengandung racun perlu direbus dengan api yang kecil dalam waktu yang agak lama, sekitar 3-5 jam untuk mengurangi kadar racunnya. Nyala api yang besar digunakan untuk ramuan obat yang dimaksudkan agar pendidihan menjadi cepat dan penguapan berlebih dari zat yang merupakan komponen aktif tumbuhan dapat dicegah.


   5. WAKTU MINUM OBAT

      Bila tidak terdapat petunjuk pemakaian, biasanya obat diminum sebelum makan kecuali obat tersebut merangsang lambung maka diminum setelah makan. Obat berkhasiat tonik diminum sewaktu perut kosong, dan obat berkhasiat sedative diminum sewaktu ingin tidur. Pada penyakit kronis diminum sesuai jadwal secara teratur. Rebusan obat bisa diminum sesering mungkin sesuai kebutuhan atau diminum sebagai pengganti teh.


   6. CARA MINUM OBAT

      Obat biasanya diminum satu dosis sehari yang dibagi untuk 2-3 kali minum. Umumnya diminum selagi hangat, terutama untuk pengobatan sindroma luar. Setelah minum obat, pakailah baju tebal atau tidur berselimut supaya tubuh tetap hangat dan mudah mengeluarkan keringat.

      Untuk pengobatan sindroma panas, obat diminum dalam keadaan dingin. Sebaliknya untuk pengobatan sindroma dingin obat diminum dalam keadaan hangat. Obat yang sedikit toksik, diminum sedikit demi sedikit tetapi sering. Tambahkan dosisnya secara bertahap sehingga efek pengobatan tercapai.


   7. LAMA PENGOBATAN

      Tumbuhan obat yang masih berupa simplisia, hasil pengobatannya tampak lambat, namun sifatnya konstruktif atau membangun. Hal ini berbeda dengan obat kimiawi yang hasil pengobatannya terlihat cepat namun destruktif. Oleh karena itu, obat yang berasal dari tumbuhan tidak dianjurkan penggunaannya untuk penyakit-penyakit infeksi akut. Tumbuhan obat lebih diutamakan untuk memelihara kesehatan dan pengobatan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimiawi, atau memerlukan kombinasi antara obat kimiawi dengan obat dari tumbuhan berkhasiat.


Sumber:
 

Metodologi


Metode penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu:
1. Metode Kuantitatif
2. Metode Kualitatif
Metode kuantitatif berakar pada paradigma tradisional,positivistik, eksperimental atau empiricist. Metode ini berkembang dari tradisi pemikiran empiris Comte, Mill, Durkeim, Newton dan John Locke. “Gaya” penelitian kuantitatif biasanya mengukur fakta objektif melalui konsep yang diturunkan pada variabel-variabel dan dijabarkan pada indikator-indikator dengan memperhatikan aspek reliabilitas. Penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai dan konteks, mempunyai banyak “kasus” dan subjek yang diteliti, sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk data statistik yang berarti. Hal penting untuk dicatat di sini adalah, peneliti “terpisah” dari subjek yang ditelitinya.
Metode kualitatif dipengaruhi oleh paradigma naturalistik-interpretatif Weberian, perspektif post-positivistik kelompok teori kritis serta post-modernisme seperti dikembangkan oleh Baudrillard, Lyotard, dan Derrida (Cresswell, 1994).
penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya. Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas.
Antropologi erat kaitannya dengan metode penelitian kualitatif. terdapat lima jenis metode penelitian kualitatif yang banyak dipergunakan, yaitu: (1) observasi terlibat; (2) analisa percakapan; (3) analisa wacana; (4) analisa isi; dan (5) pengambilan data ethnografis.
Konsep “penteorian metode kualitatif” merujuk pada keterjalinan antara teori dengan metode. Dalam konteks ini, teori dan metode dilihat sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan (insparable). Bentuk paling klasik “penteorian” metode dapat ditemukan dalam tradisi interaksionisme simbolik.

Sumber:
  • Gumilar Rusliwa Somantri, Memahami Metode Kualitatif. dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005 : 57-65. Depok: FISIP-UI
  • Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publications, Inc.

Peralatan dan Perlengkapan


Peralatan dan perlengkapan hidup dbuat atas dasar pengetahuan yang dimiliki manusia. Sistem pengetahuan tersebut dinamakan teknologi. J.J.Honigman dalam “ The world of man “, mengatakan bahwa teknologi adalah segala tindakan baku yang digunakan manusia untuk mengubah alam, termasuk tubuhnya sendiri, tubuh orang lain

Teknologi adalah cara manusia membuat, memakai, memelihara seluruh peralatannya, bahkan bertindak selama hidupnya. Munculnya teknologi disebabkan karena manusia berupaya melaksanakan matapencaharian hidupnya, mengorganisasi masyarakatnya, mengekspresikan rasa keindahan dalam memproduksi hasil-hasil keseniannya.

Teknologi bermula dari hal-hal yang sederhana, menciptakan sesuatu untuk mengatasi persoalan yang ada pada kehidupan sehari-hari misalnya pembuatan makanan,,pembuatan pakaian , pembuatan rumah, pembuatan jalan. Teknologi kemudian berkembang kepada hal-hal yang lebih rumit dan komplek. Dengan demikian diperlukan tingkat teknologi yang lebih tinggi..

Teknologi berasal dari kata "teknik". Masyarakat memiliki teknik tersendiri dalam membuat atau memproduksi suatu alat sehingga ada kekhasan atas ciri teknik dari alat yang dibuat oleh masyarakat tersebut. Menurut Sastrapratedja, fenomena teknik pada masyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Rasionalitas artinya teknik selalu bertindak sesuai rencana dengan perhitungan rasional.
  2. Artifisialitas artinya selalu membuat sesuatu yang tidak alamiah
  3. Otomatisme artinya dalam organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Selain itu juga mampu merubah kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis.
  4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
  5. Monisme artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
  6. Universalisme artinya mampu melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan
  7. Otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri
Sumber:
http://muslikhatun-antropologi.blogspot.com/2010/11/ilmu-pengetahuan-dan-teknologi.html

seni Rupa


PENGERTIAN
Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Seni tradisional yang ada di suatu daerah berbeda dengan yang ada di daerah lain, meski pun tidak menutup kemungkinan adanya seni tradisional yang mirip antara dua daerah yang berdekatan.

CIRI-CIRI
  • Penciptaannya selalu berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas dalam suatu budaya, bisa berupa aktivitas religius maupun seremonial.
  • Terikat dengan pakem-pakem tertentu.
Contoh Wayang kulit, wayang golek, wayang beber, ornamen pada rumah-rumah tradisional di tiap daerah, batik, songket, dan lain-lain. 

Seni Tradisional Seni tradisional, dapat disebut dengan seni rakyat merupakan bentuk seni yang diproduksi oleh suatu kebudayaan tertentu oleh rakyat jelata, pekerja atau orang lain. Seni tradisional dibuat utamanya untuk kegunaan, lebih dari estetika. Seni tradisional biasanya hanya mengacu pada suatu kebudayaan tertentu dan berbeda antara satu dengan yang lain, walaupun terkadang bisa sama karena pengaruh kebudayaan. Keragaman lokasi geografis dan keragaman jenis seni tradisional tidak memungkinkan untuk mendeskripsikannya secara keseluruhan. 
Seni tradisional kian menghilang dikarenakan modernisasi, industrialisasi ataupun pengaruh luar. Hal tersebut dianggap sebagai fenomena bagi kalangan tertentu. 

Ciri khusus
  • Bersifat distinktif, antara kebudayaan satu dengan yang lain berbeda
  • Mengutamakan kegunaan, lebih dari estetika
  • Dianggap naïf karena tidak mengindahkan kaidah seni
  • Bersifat impulsif, hanya spontanitas saja
  • Tidak terpengaruh aliran dalam akademisi dan ruang lingkup seni murni 

Sumber:
http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2010/12/30/seni-rupa-tradisional/



Tabu


Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi keras. Tabu dapat juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari lingkungan sekitar.

Secara umum, tabu dianggap telah ada sebelum munculnya teisme dan dari periode sebelum adanya semua jenis agama.Secara khusus, tabu adalah Ungkapan yang tidak boleh diungkapkan dalam suasana tertentu dalam hubungannya dengan kepercayaan. Ungkapan tabu ada karena adanya larangan untuk mengucapkan kata-kata tertentu. Ungkapan tabu disiasati supaya tidak secara vulgar diucapkan.

Ungkapan tabu menurut Ullman dibagi 3:
  1. Tabu karena sesuatu yang menakutkan
  2. Tabu karena sesuatu yang tidak mengenakkan
  3. Tabu karena sesuatu yang tidak pantas

Menurut Mahmud Fasya, ungkapan tabu dibagi jadi 2:
Dimensi horizontal (habluminannas) yaitu sesuatu yang tidak mengenakkan & tidak pantas
Dimensi vertikal (hubungannya dengan Tuhan atau yang berbau gaib) yaitu sesuatu yang menakutkan

Tabu karena sesuatu yang menakutkan
  • Warisan dari animisme dan dinamisme
  • Contoh: pada masyarakat Jawa merasa tabu menyebut kata ‘tikus’, sehingga harus disanjung dengan panggilan ‘den bagus’.
  • Contoh: pada masyarakat Sunda (Ciamis), kelelawar tidak boleh disebut ‘lalay’, tetapi ‘buah labu’.

Ungkapan tabu yg relasi manusia dg manusia masih berlaku hingga sekarang, kaitannya dengan sopan santun. Ungkapan tabu ini berhubungan juga dg nilai rasa sosial. Nilai rasa sosial selalu berkembang tiap zamannya.

Strategi menghindari ungkapan tabu dalam Bahasa Indonesia
  • Gunakan eufimisme (nilai rasanya lebih halus)
  • Mengganti bunyi, contoh menyebutkan kata ‘anjing’ dengan kata ‘anjrit’ (bagi orang Sunda), ‘asu’ dengan ‘asem’ (bagi orang Jawa).
  • Abreviasi (pemendekan), contoh ‘miss V’ utk ‘vagina’, ‘sekwilda’ = ‘sekitar wilayah dada’, ‘perek’ = ‘perempuan rekrutan’.
  • Metafora atau kiasan, contoh utk ‘celana dalam’ = ‘segitiga pengaman’, ‘burung’ utk menyebutkan kemaluan laki-laki.
  • Menggunakan kata lain (sinonim)
  • Diganti dengan bahasa asing, contoh ‘pantat’ diganti ‘dubur’, ‘kotoran’ diganti ‘feses, tinja’.
  • Menciptakan kata dengan ‘tuna’, contoh tunasusila.
  • Mengikuti perkembangan zaman, contoh kata ‘kuli’ diganti jadi ‘pekerja, karyawan’.
  • Ungkapan yang memberi kesan lebih baik atau menciptakan ungkapan yang baru.


Sumber:
  • Sitaresmi, Nunung, Fasya, Mahmud. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung: UPI Press
  • Ungkapan Tabu. dalam http://robita.wordpress.com/2011/06/11/ungkapan-tabu/
  • Tabu. dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tabu

Mitos


Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya.Mitos itu sendiri, ada yang berasal dari indonesia dan ada juga yang berasal dari luar negeri. 

Mitos yang berasal dari luar negeri pada umumnya telah mengalami perubahan dan pengolahan lebih lanjut, sehingga tidak terasa asing lagi yang disebabkan oleh proses adaptasi karena perubahan zaman. Menurut Moens-Zoeb, orang jawa bukan saja telah mengambil mitos-mitos dari India, melainkan juga telah mengadopsi dewa-dewa Hindu sebagai dewa Jawa. Bahkan orang Jawa pun percaya bahwa mitos-mitos tersebut terjadi di Jawa. Di Jawa Timur misalnya, Gunung Semeru dianggap oleh orang Hindu Jawa dan Bali sebagai gunung suci Mahameru atau sedikitnya sebagai Puncak Mahameru yang dipindahkan dari India ke Pulau Jawa. 

Mitos di Indonesia biasanya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, terjadinya susunan para dewa, terjadinya manusia pertama, dunia dewata, dan terjadinya makanan pokok. Mengenai mite terjadinya padi, dikenal adanya Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi padi orang Jawa. Menurut versi Jawa Timur, Dewi Sri adalah putri raja Purwacarita. Ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sadana. Pada suatu hari selagi tidur, Sri dan Sadana disihir oleh ibu tirinya dan Sadana diubah menjadi seekor burung layang-layang sedangkan Sri diubah menjadi ular sawah. 

Aliran Kepercayaan


Aliran kepercayaan merupakan bagian dari nilai budaya yang tertanam pada diri masyarakat dan diterapkan sebagai cara pandang untuk melakoni kehidupannya. Cara pandang tersebut sebenarnya dapat mengacu pada agama yang bersumber dari kitab sepertihalnya yang ada dalam agama-agama besar dunia. Berbeda halnya dengan agama besar, aliran kepercayaan atau yang lebih dikenal dengan agama lokal meyakini bahwa cara pandang mereka didasarkan atas apa yang diajarkan oleh nenek moyang (karuhun) dalam menata kehidupan baik dalam lingkungan mereka ataupun saat menghadapi dunia di luar lingkungan mereka. Tatanan kehidupan karuhun kemudian diformulasikan dalam suatu konsep mengenai keteraturan dalam menghadapi dan memotivasi kehidupan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Geertz. Beliau mengatakan bahwa :
Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. (Geertz, 1973:90)


Sumber:
Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Culture, New York: Basic.
Ade Makmur Kartawinata. 2002. Amalan Agama Lokal dalam Komunitas Terpinggir Di Jawa Barat: Kajian Antropologi Agama. Makalah dalam Simposium Kebudayaan Indonesia – Malaysia VIII 8 – 9 Oktober 2002.

Upacara Tradisional


Bani Sudardi menyebutkan bahwa upacara tradisional merupakan bagian dari sistem religi. Dalam sistem religi terdapat 3 unsur, yaitu: 
1. Sistem keyakinan 
2. Sistem upacara keagamaan 
3. Masyarakat pendukung 

Sistem keyakinan adalah suatu konsep yang hidup di masyarakat. Sistem ini bisa menyangkut berbagai hal seperti kosmogoni, kosmologi, mitologi, legenda, dan sebagainya. Sistem keyakinan tersebut merupakan hal yang dipercaya masyarakat pemilikinya dan dianggap benar-benar terjadi. Upacara tradisional terdapat sistem upacara yang harus diikuti oleh peserta upacara. Sistem upacara adalah suatu bentuk reaktualisasi adanya sistem kepercayaan. Di antara ketiga unsur dari sistem religi, sistem upacara merupakan unsur yang paling nyata dan tentu saja menarik perhatian. Bentuk sistem upacara itu beragam bentuknya yang terdiri dari: 
1. Bersaji 
2. Berkorban 
3. Berdoa 
4. Makan bersama dengan makanan suci 
5. Prosesi 
6. Tarian suci 
7. Nyanyian suci 
8. Drama suci 
9. Puasa 
10. Intoksikasi 
11. Bertapa 
12. bersamadi 

Dari berbagai bentuk sistem upacara ini, ada 4 hal utama yang merupakan unsurnya, yaitu: 
1. Tempat 
2. Saat 
3. Benda dan alat 
4. Orang yang melakukan 

Suatu ritual atau upacara tradisional memiliki makna tertentu. Makna tersebut kadang-kadang tidak tunggal. Makna suatu ritus dapat dibagi menjadi 7 bagian, yaitu:
1. Aktualisasi peristiwa mistis
2. Kerinduan pada kekuatan adikodrati
3. Proyeksi suatu cita-cita
4. Tolak bala
5. Pengaturan sosial/katub sosial
6. Hiburan
7. Kritik sosial

Sumber:
Bani Sudardi. 2009. Makna Ritus da Upacara Tradisional di Pesisir Utara Jawa. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal