02 November 2011

Nini Anteh Sang Penunggu Bulan


Nini Anteh Sang Penunggu Bulan
Diedit ulang oleh Tatang M. Amirin; 26 Oktober 2010


Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana.

Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama-sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda.

Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dasti, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi putri Endahwarni.

“Kau jangan memanggilku Gusti Putri kalau sedang berdua denganku,” kata Putri.

“Bagiku kau tetap adik tercintaku. Tidak perduli statusmu yang hanya seorang dayang. Ingat sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas ya! Kalau lupa lagi kamu akan aku hukum!”

“Baik Gust…..eh Kakak!” jawab Nyai Anteh.

“Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata putri.

“Ah, iri kenapa, Kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.

“Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar Putri sambil tersenyum.

“Ha ha ha.. Kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Yang cantik tuh Kak Endah, kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat Kakak. Iya kan, Kak?” jawab Anteh dengan semangat.

“Ah kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. O ya kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya putri.

“Eeee…itu…itu…saya yang jahit sendiri, Kak.” jawab Anteh.

“Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmmmm…mungkin baju pengantinku?” seru Putri.

“Aduh, mana berani saya membuat baju untuk pernikahan Kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan.

“Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata Putri tegas.

Suatu malam Ratu memanggil putri Endahwarni dan Anteh ke kamarnya. “Endah putriku, ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan,” kata Ratu.

“Ya, Ibu,” jawab Putri.

“Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.”

“Maksud ibu, Endah harus segera menikah?” tanya putri.

“Ya, Nak, dan ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak Adipati dari Kadipaten Wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata Ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.”

“Baik, Gusti Ratu,” jawab Anteh.

Malam itu putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya.

“Aku takut sekali Anteh,” kata putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?”

“Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin Gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat Kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan Kakak. Ah sudahlah, Kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.”

Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar,

“Alangkah cantiknya dia, apakah dia putri Endahwarni calon istriku?” batinnya.

Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya.

“Siapa tuan?” tanya Anteh.

“Aku Anantakusuma. Apakah kau…..”

Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh.

“Anteh!!! Cepat!!! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang.

“Ya. Saya segera datang. Maaf tuan saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma.

“Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.”

Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati Wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.

Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan.

“Silakan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat.

“Terima kasih Anteh, silakan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya.

Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gadis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa, dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya.

Setelah perjamuan selesai dan Putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui Sang Putri.

“Bagaimana, Kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami Kakak? Wah ternyata dia sangat tampan ya?” kata Anteh.

Hati putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta.

“Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata Putri Endahwarni.

“A..apa kesalahanku, Kak? Kenapa Kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget.

“Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak Putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!”

“Tapi kenapa, Kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh.

“Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata Putri.

“Baiklah, Kak, aku akan pergi dari sini. Tapi Kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati Kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.”

Anteh beranjak pergi dari kamar Putri Endahwarni menuju kamarnya, lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga Putri Endahwarni dengan baik.

Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi ke sana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya.

Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya.

“Maaf Nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya.

“Iya Paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan.

“Oh maaf, bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dasti,”

“Dasti? Nama ibuku juga Dasti. Apakah kakak Paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh.

“Ya….! Apakah….kau anaknya Dasti?” tanya Paman itu.

“Betul, Paman!” jawab Anteh.

“Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku pamanmu Dasta, adik ibumu,” kata Paman Dasta dengan mata berkaca-kaca.

“Benarkah? Oh Paman, akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira.

“Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya Paman Dasta.

“Ceritanya panjang, Paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah Paman. Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh.

“Tentu saja, Nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata Paman Dasta.

Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah Pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh, sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit.

Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh.

“Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ini? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu, padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis Putri.

“Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh.

“Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta Putri.

“Tapi Putri, aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh.

“Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!”

Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan pangeran Anantakusuma, suami putri Endahwarni.

Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya Pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora, hingga suatu malam Pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh.

Pangeran Kerajaan

Benar saja. Dilihatnya Anteh sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya, sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh.

“Anteh!” tegurnya.  Anteh terkejut. Dilihatnya pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya.

“Pa … Pangeran? Kenapa Pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan.

“Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh, tahukah kau bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata Pangeran.

“Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat.

“Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku Anteh! Kemarilah, biarkan aku memelukmu!” kata Pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh. Anteh mundur dengan ketakutan.

“Sadarlah Pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti Putri.”

Namun pangeran Ananta kusuma tetap mendekati Anteh.Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun Pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya.

“Oh Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” doa Anteh,

“Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!”

Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak, dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan.

Sejak saat itu Nyai Anteh yang sudah nenek-nenek, hingga orang-orang menyebutnya Nini (Nenek) tinggal di bulan, sendirian, hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut Pangeran Anantakusuma akan mengejarnya.

Jika kerinduannya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat, kucing kesayangannya. Begitulah kisah Nini Anteh Sang Penunggu Bulan. Lihatlah di bulan ketika purnama, tampak tubuh Nini Anteh yang sudah tua itu sedang menenun ditemani Candramawat, kucingnya.


Patahan Lembang Rawan Menimbulkan Gempa Yang Berakibat Bagi Kabupaten Dan Kota Sekitarnya


Patahan Lembang Rawan Menimbulkan Gempa Yang Berakibat Bagi Kabupaten Dan Kota Sekitarnya
Kamis, 27 Oktober 2011 10:55 WIB

Yuwana Tri Aditya

Bandung-Dilihat dari skala nasional jawa barat memiliki potensi bencana alam yang potensial, karenanya jawa barat memiliki daerah rawan tsunami tujuh gunung berapi api daerah aliran sungai serta 6 patahan atau sesar yang signifikan, dampaknya seperti halnya di tempat wisata lembang kabupaten bandung barat pasalnya di tempat wisata tersebut memiliki patahan atau sesar yang bernama sesar lembang yang memiliki potensi gempa yang cukup signifikan dan berdampak besar akan timbul jika adanya tabrakan lempeng di sesar lembang. Terlebih untuk di darat sendiri jawa barat memiliki enam sesar yaitu sesar balibis di majalengka sesar cimandiri di sukabumi sesar lembang di kabupaten bandung barat sesar kuningan sesar garut dan sesar gunung halu. Ke enam sesar itu merupakan perhatian khusus karena bisa memberikan potensi gempa. Hal tersebut seperti yang disampaikan kepala bidang pencegahan dan kesiapsiagaan badan penanggulanagan bencana daerah provinsi jawa barat dadang abdul rahman msi,dirinya mengakui saat ini sesar lembang merupakann fokus perhatian dari badan penanggulangan bencana daerah provinsi jawa barat, karena potensi besar bencana alam jika timbul kegempaan besar dari sesar lembang maka sedikitnya 3 daerah seperti kabupaten bandung barat,kota bandung dan kota cimahi akan berdampak besar kerugian jiwa maupun harta potensi gempa di sesar lembang bisa terjadi karena adanya tabrakan lempengan eurasia dan indoaustralia dan kini pihak badan penanggulanagan bencana daerah provinsi jawa barat sangat fokus perhatian kepada sesar lembang karena kemungkinan potensi gempa harus diwaspadai dan menurut para ahli siklus kegempaan sesar lembang bisa datang tanpa diduga sekitar seratus tahunan dua ratus tahunan hingga ribuan tahunan.

Sumber: pjtv.co.id

Proses Terjadinya Tsunami


Proses Terjadinya Tsunami


Ada 3 (tiga) kejadian di laut yang mengakibatkan timbulnya tsunami yaitu : 

1. Gempabumi
Secara umum gempabumi yang bisa menimbulkan tsunami adalah gempabumi tektonik yang terjadi di laut dan mempunayai karakteristik sebagai berikut : 
1 Sumber gempabumi berada di laut 
2 Kedalaman gempabumi dangkal, yakni kurang dari 60 km 
3 Kekuatannya cukup besar, yakni di atas 6,0 SR 
4 Tipe patahannya turun (normal fault) atau patahan naik (thrush fault) 
Tsunami yang ditimbulkan oleh gempabumi biasanya menimbulkan gelombang yang cukup besar, tergantung dari kekuatan gempanya dan besarnya area patahan yang terjadi. Tsunami dapat dihasilkan oleh gangguan apapun yang dengan cepat memindahkan suatu massa air yang sangat besar, seperti suatu gempabumi, letusan vulkanik, batu bintang/meteor atau tanah longsor. Bagaimanapun juga, penyebab yang paling umum terjadi adalah dari gempabumi di bawah permukaan laut. Gempabumi kecil bisa saja menciptakan tsunami akibat dari adanya longsor di bawah permukaan laut/lantai samudera yang mampu untuk membangkitkan tsunami Tsunami dapat terbentuk manakala lantai samudera berubah bentuk secara vertikal dan memindahkan air yang berada di atasnya. Dengan adanya pergerakan secara vertical dari kulit bumi, kejadian ini biasa terjadi di daerah pertemuan lempeng yang disebut subduksi. Gempa bumi di daerah subduksi ini biasanya sangat efektif untuk menghasilkan gelombang tsunami dimana lempeng samudera slip di bawah lempeng kontinen, proses ini disebut juga dengan subduksi.

2. Land Slide (Tanah Longsor)
Land Slide/tanah longsor dengan volume tanah yang jatuh/turun cukup besar dan terjadi di dasar Samudera, dapat mengakibatkan timbulnya Tsunami. Biasanya tsunami yang terjadi tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan tsunami akaibat gempabumi. 

3. Gunung Berapi aktif yang berada di tengah laut
Gunung Berapi aktif yang berada di tengah laut ketika meletus akan dapat menimbulkan tsunami. Tsunami yang terjadi bisa kecil, bisa juga sangat besar, tergantung dari besar kecilnya letusan gunung api tersebut. Ada banyak gunung api yang berada ditengah laut di seluruh dunia. Untuk di Indonesia , yang paling terkenal adalah letusan gunung Krakatau yang terletak di tengah laut sekitar Selat Sunda, yang terjadi pada tahun 1883. Letusannya sangat dashyat, sehingga menimbulkna tsunami yang sangat besar dan korban yang banyak, baik jiwa maupun harta benda. Dampak dari bencana ini juga dirasakan kedashyatannya di negara lain. Tanah longsor di dalam laut dalam , kadang-kadang dicetuskan oleh gempabumi yang besar; seperti halnya bangunan yang roboh akibat letusan vulkanik, mungkin juga dapat mengganggu kolom air akibat dari sediment dan batuan yang bergerak di lantai samudera. Jika terjadi letusan gunungapi dari dalam laut dapat juga menyebabkan tsunami karena kolom air akan naik akibat dari letusan vulkanik yang cukup besar lalu membentuk suatu tsunami. Contoh seperti yang terjadi di Gunung Krakatau.Gelombang terbentuk akibat perpindahan massa air yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi untuk mencapai keseimbangan dan bergerak di lautan, seperti jika kita menjatuhkan batu di tengah kolam akan terbentuk gelombang melingkar. Sekitar era tahun 1950 an ditemukan tsunami yang lebih besar dibandingkan sebelumnya percaya atau tidak mungkin ini disebabkan oleh tanah longsor, bahan peledak, aktifitas vulkanik dan peristiwa lainnya. Gejala ini dengan cepat memindahkan volume air yang besar, sebagai energi dari material yang terbawa atau melakukan ekspansi energi yang ditransfer ke air sehingga terjadi gerakan tanah. Tsunami disebabkan oleh mekanisme ini, tidak sama dengan tsunami di lautan lepas yang disebabkan oleh beberapa gempabumi, biasanya menghilang dengan cepat dan jarang sekali berpengaruh sampai ke pantai karena area yang terpengaruh sangat kecil.Peristiwa ini dapat memberi kenaikan pada gelombang kejut lokal yang bergerak cepat dan lebih besar (solitons), Seperti gerakan tanah yang terjadi di Teluk Lituya memproduksi suatu gelombang dengan tinggi 50- 150 m dan mencapai area pegunungan yang jaraknya 524 m. Bagaimanapun juga , suatu tanah longsor yang besar dapat menghasilkan megatsunami yang mungkin berdampak pada samudera.

Sumber: forum.upi.edu 

01 November 2011

Antropologi Unair Angkatan 88


  1. Lucy Dyah Hendrawati (domisili : Surabaya)
  2. Sri Endah Kinasih (domisili : Surabaya)
  3. Heru “koempo” Soesanto (domisili : Surabaya)
  4. Lulus Wahyu Setyaningsih (domisili : Porong)
  5. Sylvia K. Ngonde (domisili : Surabaya)
  6. Aida Farida
  7. Alimar Dahlan
  8. Ani Mas’udah
  9. Des Herliana
  10. Diah Pitaloka
  11. Dwi Wahjuni Suharjanti
  12. Dyah Apriarita Dewi
  13. Eka Widijati
  14. Elok Tarini
  15. Endang Nawang Wati
  16. Endang Wahju Wulandari
  17. Endro Soegianto
  18. Hanik Purwati
  19. Herman Decianto
  20. Heroe Soesanto
  21. Ichnaton
  22. Indrijati Soerjasih
  23. Irvan Setiawan
  24. Jetty Wihertantie
  25. Kartono
  26. Lasmawati
  27. Makhfud
  28. Miming Meriana
  29. Nila Savira
  30. Noerhayati
  31. Nursyamsyah Rahmawati
  32. Putut Pramono
  33. Ratna Kartika Wismaningsih
  34. Rita Rachmawati
  35. Rusyad Adi Suriyanto
  36. Slamet Guripno
  37. Sonya Cynthia Tomasowa
  38. Sri Astutik
  39. Sri Endah Nurhidayati
  40. Wahyu Murdjianto
  41. Wiwin Widyawati

Daluang atau Dluwang dalam Perspektif Kodikologi


oleh:



Abstrak

Berbagai naskah kuno yang merupakan kekayaan budaya masa lampau saat ini tersebar di seluruh Nusantara. Media yang dipergunakan untuk menulis karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah daun lontar, kertas daluang atau dluwang, bambu atau kulit kayu. Dengan demikian, keberadaan kertas sebagai media karya intelektual dalam kehidupan manusia cukup penting. Karena selain sebagai dokumen pencatat ilmu pengetahuan, kertas juga berfungsi media untuk promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan, dan lain sebagainya. Di atas permukaannyalah terletak berbagai informasi yang ingin disampaikan, misalnya tulisan atau gambar.

Keyword: Kertas, dluwang dan kodikologi

1. Pendahuluan

Sebelum kertas diketemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha mencari permukaan-permukaan benda yang sekiranya cocok untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Awalnya, mereka mengungkapkan perasaan dengan cara menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan lain sebagainya (lih. Nooryan Bahari, 1995). Tradisi ini telah dikembangkan sejak zaman prasejarah terutama pada masa berburu dan meramu. Pada fase itu manusia belum menemukan cara melambangkan bunyi dalam bentuk tertentu. Jadi, dengan adanya gambar manusia dapat mengemukakan ide, gagasan dan logika dalam bentuk gambar. Dengan demikian, gambar merupakan hasil budaya pada masa awal yang mempunyai arti penting dalam perkembangan sejarah kebudayaan manusia, yaitu era ”pembuka“ tradisi tulis dan berarti pula memasuki periode baru, yaitu periode sejarah. (lih. Endang Sri Hardiati, 2002: 1).

Oleh karena sebagian besar peninggalan gambar tersebut dapat ditemukan pada batu, maka batu pada masa itu merupakan sarana awal untuk berkomunikasi lewat “tulisan“, hampir sama sebagaimana bahan tersebut digunakan sebagai patung. Melalui medium ekspresi ini dapat diketahui bahwa kelompok piktograf dan ideograf memainkan peranan penting pada fase-fase awal sejarah kebudayaan manusia (lih. Nooryan Bahari, 1995). Hal ini dapat diketahui melalui obelisks yang memuat pahatan huruf hieroglyphs Mesir. Selain itu, bangsa Sumeria di daerah sungai Efrat dan Tigris (Irak sekarang), yang sejarahnya diperkirakan dimulai sejak 3000 tahun lalu telah menciptakan dan menggunakan huruf-huruf paku (cuneiform), yang merupakan tulisan pertama yang dikembangkan di dunia. Ketika Sumeria ditaklukan, si pemenang berbaur dengan orang-orang Sumeria dan mengambil alih tulisannya. Pada waktu itu tulisan paku masih dipahat di atas batu.

Orang-orang Chaldea dari Babylonia Kuno, telah mencap tanda-tanda dengan alat ukur tulang ke dalam tanah liat dalam berbagai ukuran dengan huruf-huruf paku. Tanah liat tersebut kemudian dibakar sehingga menjadi keras. Hasilnya lalu dikirimkan ke orang lain, seperti halnya tulisan kertas berharga dan surat-surat yang dipertukarkan saat ini.

Adapun penggunaan logam seperti kuningan, tembaga, perunggu dan timah, tidak diketahui pada awal peradaban. Dalam Bibel, referensi terhadap pemakaian timah hanya dibuat untuk tulisan-tulisan permanen. Seentara logam-logam yang lain digunakan dalam pemeliharaan atau pengawetan perjanjian-perjanjian, hukum-hukum dan persekutuan-persekutuan. Orang-orang Rowawi, misalnya menggunakan perunggu dalam mencatat peringatan-peringatan mereka. Selain itu, sebelum berangkat ke medan pertempuran, para serdadu Romawi memahat keinginan mereka pada gesper logam atau pada sarung pedang mereka. Sebagai benda kesayangan, maka barang-barang perunggu tersebut dipahat dan diukir dengan nama-nama atau simbol mereka pada awalnya, kemudian ditulisi untuk memperingati suatu peristiwa atau menerangkan alasan bagi pembuatan benda-benda perunggu tersebut, atau untuk menerangkan cara menggunakannya, atau untuk mencatat nama-nama dari para pembuatnya (lih. Nooryan Bahari, 1995).

2. Kertas Eropa dan Kertas Daluang

2.1. Sejarah Kertas Eropa dan Persebarannya

Buku-buku besar tersusun dari lembaran-lembaran kayu telah dipakai sebelum masa Homer ( + abad 9 SM). Bahan utamanya berasal dari pohon citron. Setiap bagian kayu biasanya ditutup dengan suatu lapisan kayu halus tipis dari lilin, kapur atau plester dan tanda-tanda atau tulisan ditorehkan pada lapisan itu dengan menggunakan sebuah logam atau tulang yang berbentuk runcing. Teknik ini memungkinkan untuk menghapuskan tulisan dengan cara pelapisan kembali lembaran-lembaran kayu tersebut. lembaran kayu itu kemudian diikat bersama-sama dengan sabuk kulit sehingga menjadi susunan buku yang disebut codex. Buku ini tetap dipakai hingga abad ke 14.

Di negeri Timur tanda-tanda itu ditulis dalam bilah-bilah bambu kering yang diikat bersama-sama sehingga membentuk bundelan atau ikatan. Ukuran barang tersebut tanggung sehingga sukar untuk menyimpannya. Setiap kali buku dipergunakan, maka tali itu harus diikatkan kembali. Orang-orang Cina dahulu kala, tidak memberikan nomor pada bilah-bilah bambu tersebut sehingga membingungkan urutannya tatkala tali pengikatnya putus atau bilah-bilah tersebut dibongkar (lih. Nooryan Bahari, 1995).

Menulis pada daun palem dan jenis tumbuh-tumbuhan lain telah dipraktekkan sejak zaman dahulu kala di Romawi dan negara-negara Timur. Daun palem yang lebar dan berstrip dari berbagai ukuran panjang dan lebar, kira-kira dipotong 2 inci. Kemudian digunakan sebuah alat dari logam yang berbentuk runcing untuk menoreh daun tersebut. Hasil torehan kemudian diisi dengan semacam cat yang dibuat dari arang sehingga tulisan-tulisan tersebut menjadi jelas dan menonjol. Setiap lembar daun ditusuki untuk membuat 2 buah lubang dan daun-daun tersebut diikat bersama dengan tali untuk menjadi sebuah buku. Pemakaian daun-daun dari berbagai pohon tersebut menghadirkan istilah kata “leaf” yang saat ini mempunyai arti bagian dari sebuah buku.

Kulit dari berbagai macam pohon telah digunakan sebagai bahan tulisan, hampir pada setiap periode dan daerah. Di zaman Latin kulit pohon bagian dalam telah digunakan, dikenal dengan nama liber. Pada waktu itu, pengertian liber adalah istilah untuk buku itu sendiri dan kata “library” berasal dari istilah liber tersebut.

Orang-orang Indian Amerika telah menulis bahasa simbol mereka dengan tongkat-tongkat kayu dan cat cair pada kulit pohon birch putih dari Amerika Utara. Penduduk asli Amerika Selatan, termasuk Mexico membuat semacam kertas dengan cara memukul kulit bagian dalam pohon moraceous. Namun, sayang sejarah tidak memperlihatkan penduduk asli yang sekarang disebut Amerika Serikat pernah membuat kertas dari jenis pohon moraceous.

Parchment adalah suatu bahan berupa lembaran yang terbuat dari kulit binatang, yang menimbulkan kesan antik, mempunyai daya tahan lama bahkan sampai ratusan tahun. Parchment telah menjadi pembawa nilai yang sangat berarti bagi catatan-catatan dan cerita-cerita dari zaman klasik Yunani hingga abad pertengahan, tetap ada hingga sekarang sebagai saksi terhadap bahan yang sangat bermanfaat ini. Kata “parchment” diambil dari Pergamum, sebuah kota kuno Mysia di Asia Kecil. Para ilmuwan berpendapat bahwa parchment atau kertas dari kulit mungkin sudah digunakan sejak 1500 SM, akan tetapi parchment tersebut tidak digunakan menjadi permukaan untuk menulis sampai sekitar 200 SM kemudian. Kulit binatang dapat diberi warna, disemir. dibengkokkan dan diberi perhiasan dengan cara ditatah, diukir, dilubangi dan dijahit. Parchment yang sebenarnya tidak seperti halnya kulit, terbuat dari belahan kulit domba. Bagian terkecil dan sisi bulu-bulu domba dari kulitnya dibuat menjadi skiver, yaitu bahan yang cocok untuk dipakai dalam penjilidan buku. Daging dan sisi-sisi dari kulit diubah menjadi parchment atau kertas kulit dan akan menjadi kualitas yang paling bagus.

Vellum terbuat dari kulit anak sapi atau kulit anak domba dan biasanya terbuat dari seluruh kulit itu. Perbedaan antara Vellum dan parchment terlihat pada butir-butir dan tanda-tanda rambut yang biasanya menghasilkan permukaan yang tidak teratur. Parchment biasanya lebih konsisten dalam penampilan dan tidak memiliki sifat-sifat elusive ini. Parchment dan vellum harus digores, digosok dengan kapur dan direntangkan sehingga kulit mempunyai bentuk penampilan yang rata. Setelah itu ditaburi dengan pasir dari batu apung yang halus agar permukaannya menjadi bagus untuk menulis dan kaligrafi. Penulisan selama berabad-abad telah dilakukan dengaan sangat selektif dengan kulit untuk menjamin kesamaan warna dan kualitas permukaan dalam penjilidan yang memerlukan banyak halaman. Parchment tetap terus dipakai sepanjang masa Renaissance dan disebutkan bahwa untuk menghasilkan sebuah duplikat tunggal dari Bibel Gutenberg, diperlukan kulit domba sebanyak 300 ekor (lih. Nooryan Bahari, 1995). Parchment dan vellum masih selalu dibutuhkan sampai saat ini untuk mendapatkan diploma, sertifikat, hak-hak paten dan sebagainya dalam keadaan yang bagus dan alamiah. Para penulis kaligrafi mendapatkan bahan-bahan ini agar sesuai dan ideal dalam membuat karya.

Percobaan pertama yang telah sangat berhasil dengan gemilang untuk pembuatan sebuah barang yang menyerupai kertas modern seperti yang telah banyak dikenal selama ini, telah dibuat di Mesir pada zaman dahulu. Suatu tanaman air yang dikenal dengan nama papyrus telah menghasilkan bahan tersebut. Papyrus merupakan suatu tanaman yang sangat menarik perhatian, tangkainya tumbuh dari 10 hingga 15 kaki tingginya. Tangkainya berbentuk segitiga secara bersilangan dan di sekeliling dasarnya tumbuh beberapa daun yang berserabut pendek. Papyrus sangat halus atau rata, tanpa bonggol-bonggol dan duri-duri yang menuju pada kelompok bunga besar, nyaman dan berbentuk rumbai. Tanaman tersebut tumbuh dengan indah di tepian danau yang kecil dan sungai-sungai di bagiaan Afrika. Perdagangan kertas Mesir telah berkembang dengan pesat pada abad ke 3 dan berlanjut hingga abad ke 5 SM.

Tumbuhnya pemakaian kulit binatang serta perubahan-perubahan geografis daerah sungai Nil, telah mendorong terhadap ”matinya“ papyrus. Penanaman menjadi sukar dan papyrus menurun dengan drastis. Kata “paper“, “papier” dan “papel” diambil dari kata latin papyrus. Biblios merupakan terminologi latin yang digunakan untuk arti bagian dalam serabut (fiber) dari tanaman papyrus dan tulisan pada lembaran-lembaran papyrus dikenal dengan sebutan biblia (lih. Nooryan Bahari, 1995).

Masih banyak lagi bahan-bahan menulis dan menggambar yang bisa dibandingkan dengan papyrus: misalnya naskah-naskah Mayan dan Aztec yang dibuat dari suatu bahan serupa kertas dengan cara memukul kulit pohon fig (ficus) dan mulberry (Morus). Orang Mayan menyebut kertas kulit pohonnya dengan istilah huun dan menggunakannya dalam pembuatan tabel-tabel hieroglyphic mereka. Sementara orang-orang Aztec telah membuat suatu zat yang disebut amatl dengan cara merebus lembar-lembar kulit ke dalam suatu campuran yang kemudian dipukulkan dan ditorehkan pada lembaran-lembaran. Pendekatan kuno untuk pembuatan kertas ini masih dipraktekkan di antara orang-orang Indian Otomi dari Mexico Selatan. Kertas-kertas kulit Amati dari orang-orang Aztec dan Mayan, dan sesuatu yang disebut kertas merang dari Formoza. Kertas merang yang digunakan di sini adalah nama yang salah, karena kertas merang dari Formoza tersebut sebenarnya adalah suatu bahan yang tipis dan dipotong secara spiral dari lapisan bagian dalam sebuah pohon asli di negara tersebut dan tidak ada hubungannya dengan padi atau turunannya, atau kertas merang yang sebenarnya. Kertas merang digunakan digunakan di Cina untuk lukisan sumi dan kaligrafi.

Orang yang menemukan kertas untuk pertama kali secara pasti tidak diketahui, meskipun dokumen-dokumen sejarah Cina lama secara hati-hati dan tegas menyebutkan Ts’ai Lun membentuk kertas pertama kali pada tahun 105 sesudah Masehi. Hal ini ditulis Sukey Hughes (1978) dalam buku Washi The World of Japanese Paper sebagai berikut:

“Exactly how true paper come into being is not precisely known, but scolars have formed a good theory. Although old Chinese historical documents carefully and explicitly credit one Ts’ai Lun, acourt  eunuch, with the invention of paper ini central China in 105 A.D., it is certain that neither the idea nor the product was arrived at overnight.”

Ada perbedaan pendapat yang menyatakan apakah Ts’ai Lun benar-benar sebagai penemu kertas sesungguhnya atau sebelumnya sudah ada yang menemukan kertas. Masalah ini dinyatakan oleh Vance Studley (1977) sebagai berikut.

“There is some dispute as to whether Ts’ai Lun was indeed the true inventor of paper. Scholar feel that a kind of paper made from silk may have preceded his product. The credit of original invention of fused paper first used silk waste to make paper, and the time was before A.D. 105. It was known that in the year 12 B.C. paper was already used for wrapping medicine in the imperial court. The fact that Ts’ai Lun retained the old name chih, a partial word for silk, instead of using a new name was further proof that paper was not an entirely new product but only an improvement on something which already existed.”

Kertas dapat menjadi bagian dari budaya Eropa melalui perjalanan sejarah yang panjang. Terlepas dari pro – kontra tentang penemu kertas, tetapi sejarah telah mencatat Ts’ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya pada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 Masehi. Hal ini membuat gembira hati kaisar sehingga ia dianugerahi gelar kebangsawanan (lih. Hart, 1990: 62; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Kertas ciptaan Ts’ai Lun ini dibuat dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero Cina. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, pembuatan kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang seiring dengan menyebarnya bangsa-bangsa Cina ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu meskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia.

Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Selama perang di sepanjang perbatasan Turkistan, sejumlah pembuat kertas bangsa Cina tertangkap dan dipaksa untuk membuka rahasia profesinya. kepada orang-orang Arab sehingga di zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand. Kemudian Samarkand menjadi wilayah pembuat kertas karena mendapat pengetahuan baru yang diperolehnya serta didukung kondisi alamiah yang cocok untuk pembuatan kertas. Berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas agak terlambat, yaitu pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol (lih. Hart, 1990: 63; Bani Sudardi, 2003: 91).

Sekitar abad ke 12 orang Spanyol membuat kertas di Valencia, kemudian menyebar ke Perancis, dengan pabrik pertama didirikan di Troyes. Akhirnya keterampilan membuat kertas sampai di Inggris pada akhir abad ke 15. Pada awalnya, kertas-kertas Eropa dibuat dari rongsokan linen dan kapas seperti sekarang ini, ketebalan dan kekasaran lembaran menuntut perekatan dengan selatin dari binatang, sebelum kertas tersebut dapat menerima tinta dari pena bulu angsa. Kemudian Johann Gutenberg menggunakan press cetak untuk menyesuaikan permukaan kertas ukuran Eropa yang keras dan kenyal.

Salah satu dokumen yang pertama kali diketemukan, menunjukkan bahwa pembuatan kertas di Itali berlangsung pada akhir abad ke 13 dan dibuat di pabrik Fabriano, yang saat ini masih berproduksi. Pabrik di Fabriano merupakan tempat yang penting karena menghasilkan kertas dengan kaulitas bagus dan tidak seperti kertas biasa pada waktu itu karena diberi bahan perekat dari kulit binatang. Hasil pembuatan pabrik tersebut permukaannya sangat halus dan bagus untuk menulis dan menggambar.

Pemakaian lem dari kulit binatang pada kertas menyebabkan kertas tersebut sebagai suatu pengganti dari parchment dan vellum. Teknik dari pabrik tersebut segera ditiru oleh pabrik-pabrik kertas di seluruh Eropa. Di Perancis, ada sebuah legenda bahwa pada tahun 1147, seorang warga negara Perancis bernama Jean Montgolfier telah dipenjara selama Perang Salib ke 2 dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama 3 tahun di sebuah pabrik kertas di Damascus. Di sana ia belajar membuat kertas sehingga sepulangnya ke Perancis, sanggup mendirikan pabrik kertasnya sendiri. Selama 200 tahun berikutnya, maka pabrik-pabrik kertas berkembang di Perancis selama beberapa dasawarsa. Di sana terdapat bukti bahwa pabrik-pabrik kertas telah menghasilkan barang-barang kertas di Cologne dan Mainz, Jerman pada tahun 1320. Hal itu terdapat dalam catatan harian dari pembuat kertas Nuremberg, Ulman Stromer yang telah membuat dokumen bahwa Stromer telah membangun pabrik dan melengkapinya pada tahun 1390. Pabrik Stromer yang terletak dekat kota Nuremberg merupakan pabrik kertas pertama yang digambar dalam sebuah buku yang dipublikasikan dalam: Hartmann Schedel’s Nuremberg Chronicle of 1493.

Pembuatan kertas menjadi suatu kerajinan yang mapan di Belanda selama akhir abad ke 16. Perang delapan puluh tahun masih berlangsung kemudian dan ikatan-ikatan dengan pusat-pusat pembuatan kertas Perancis telah menjadi hancur pada tahun sebelum jatuhnya Antwerpen oleh Spanyol. Hal ini menimbulkan suatu migrasi ke Utara, dari Antwerpen (Pusat kertas terbesar yang dikuasai Austria) pindah ke Amsterdam. Pada akhir abad tersebut Amsterdam menjadi pusat produksi kertas dan perdagangan Internasional. Dari sinilah kemudian produksi kertas meluas ke Eropa dan menjadi terkenal (lih. Churchill, 1965: 5; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Selain itu, penemuan alat Hollander beater, sebuah alat yang dipakai untuk merendam dan menyiapkan bubur kertas pada abad ke 17, maka pembuatan kertas menjadi industri utama, dan Belanda menjadi terkenal karena kertas-kertas putihnya yang bagus dan halus. Saat ini Perusahaan Kertas Van Gelder masih terus beroperasi dengan menggunakan pabrik kertas yang bertenaga angin (wind-driven paper mill). Pabrik tersebut terletak di Westzaan dan dibangun pada tahun 1692.

Kertas produksi Eropa yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan Eropa mempunyai ciri yang tidak ditemukan pada kertas Cina dan Arab. Kertas Eropa memiliki watermark. Kertas tertua yang memiliki watermark berasal dari tahun 1346 yang saat itu sudah ditemukan 271 model watermark yang berasal dari Italia, Perancis, Swzitzerland dan Jerman. Hal ini menunjukkan sudah beragamnya jenis kertas yang diproduksi (lih. Churchill, 1965: 6; Bani Sudardi, 2003: 92).

2.2. Sejarah Kertas Daluang atau Dluwang dan Pemanfaatannya

Istilah daluang atau dluwang sebenarnya merujuk pada sejenis pohon yang nama Latinnya adalah Broussonetia papyryfera Vent. Pohon saeh (sebutan di Sunda), yakni sejenis tumbuhan tingkat rendah yang termasuk dalam keluarga Moraceae. Di beberapa tempat disebut pula Paper moerbeiboom, Murier a papier, Japanischer papierbaum atau paper mulberry. Dalam istilah lain, tanaman ini disebut sepukau di Basemah, glugu/galugu (Jawa), dhalubang/dhulubang (Madura), kembala/rowa (Sumba Timur dan Barat), linggowas (Banggai), iwo (tembuku) dan malak di Alf Seram (Tedi Permadi, 2007).

Tedi Permadi (2006) menyatakan bahwa sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh ahli arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awalnya daluang berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari, misalnya pakaian. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor yang diperkirakan dari abad 3 SM. Hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat itu disebut “tapa”. Selain itu, di dalam buku Literatur of Java muncul nama daluang pada zaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Selain itu, digunakan juga sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu, media untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Bahkan sampai saat ini pun, kertas daluang hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana di Bali untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu.

Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben, yang disimpan di dalam “kitir”. Konon, “kitir” berbentuk kupu-kupu dan berfungsi sebagai simbol magis yaitu medium pengantar arwah ke nirwana. Selain itu terdapat “kajang” yang berbahan dasar daluang. “Kajang” bagi masyarakat Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.

Daluang bagi masyarakat Pacitan, Jawa Timur, digunakan sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Secara etimologis, kata ”daluwang” terdiri atas dua kata, yaitu “dalu” yang berarti malam dan “wang” yang berarti orang. Jadi, “dalu” + ”wang” adalah orang yang bekerja pada malam hari. Karena proses pengerjaan kertas daluang untuk ditulisi cerita-cerita atau teks–teks penting hanya dapat dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari.

Pada masa kebudayaan Hindu di daerah Kediri, daluang digunakan untuk menuliskan cerita Panji untuk pergelaran wayang beber. Kemudian pada zaman ke-Islaman di Nusantara, fungsi daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis, Jawa Timur, bahwa kertas daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab keagamaan.

Sebenarnya proses pembuatan daluang tidak jauh beda dengan proses pembuatan kain (pakaian) dari kulit kayu yang dibuat di pedalaman Kalimantan (suku Dayak) dan Sulawesi (Banggai). Akan tetapi proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang ini telah ”terputus” (Rumphius dalam Basri Marzuki, 2008). Karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik lagi untuk melanjutkan tradisi pembuatan daluang, seperti halnya yang terjadi di Donggala, Sulawesi Tengah. Siti Lima, perempuan yang berusia lebih dari 70 tahun dari desa Pandere, kecamatan Gumbasa, kabupaten Donggala adalah satu-satunya perajin yang tersisa di daerah itu menyatakan bahwa tidak ada anak dan cucunya yang mau mewarisi keahlian sang nenek. Padahal dahulu kala, orang-orang tua hanya mengenal kain yang terbuat dari kulit kayu untuk menutupi tubuhnya. Bahan baku di hutan-hutan yang cukup melimpah dan alat-alat sederhana yang banyak terdapat di sekitar, membuat kain penutup tubuh itu mudah dibuat. Namun seiring dengan perjalanan waktu, terutama ketika teknologi dan globalisasi merasuk ke semua sendi kehidupan, kain yang terbuat dari kulit kayu pun mulai ditinggalkan. Dengan beberapa lembaran rupiah saja, seseorang tidak lagi harus masuk hutan untuk mencari bahan kayu dan tak lagi harus melalui sejumlah prosesi dan pantangan untuk menghasilkan kain dari kulit kayu. Akan tetapi ditinggalkannya kain kulit kayu bukan karena kemajuan teknologi semata, makin berkurangnya populasi pohon di hutan juga makin menyulitkan warga untuk mendapatkan bahan baku gratis. Lagi pula hidup orang modern kini semakin menjadi pilihan karena dianggap lebih praktis (Basri Marzuki, 2008). Untuk itu diperlukan reka ulang dan revitalisasi proses pembuatan daluang sehingga proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang dapat terus dilestarikan.

Dalam revitalisasi kertas daluang dibutuhkan upaya penanaman pohon tersebut di daerah dengan kemiringan tanah tertentu. Pasalnya, akar pohon ini membutuhkan ruang penjalaran tersendiri untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pohon ini yang muncul ke permukaan dan mendapat sinar matahari berpotensi tumbuhnya tunas baru. Seperti halnya tumbuhan tingkat rendah, pohon saeh tidak memiliki bunga dan buah. Adapun daunnya menyerupai telapak tangan yang sedang mengembang dan sedikit berbulu Walaupun demikian, batang yang tampak dari pohon tersebut sebenarnya merupakan batang semu. Hal ini disebabkan oleh sistem reproduksi tanaman saeh dilakukan melalui akar rimpangnya atau geragih. Karena di dalam akar tersebut terdapat semacam jaringan tumbuh, maka apabila akar tersebut menyembul ke permukaan tanah lalu terkena sinar matahari, akar tersebut akan terangsang berfotosintesis sehingga mengeluarkan tunas baru. Pohon ini dapat tumbuh setinggi 6 meter dengan diameter batang sekitar 20 cm dalam usia satu tahun. Satu tahun adalah umur yang ideal untuk panen. Lebih dari satu tahun, kulit pohon ini akan keras sekali dan dibutuhkan proses yang lebih lama untuk membuat kertas daluang.

Kertas tradisional ini milik masyarakat Indonesia dan sekaligus menjadi kekayaan yang unik dalam pembuatan naskah-naskah sejarah penting pada zaman dahulu. Di negera Cina, Tailand dan Mesir juga memiliki tradisi tulis yang sama, yaitu penggunaan kertas tradisional yang diolah secara tradisional sebagai simbol masa kejayaan kebudayaannya. Kini, pohon paper Mulberry ditanam dalam jumlah 6.000 pohon oleh keluarga Abidin dan Deden di Kampung Trenggilis, Desa Cinunuk, Wanaraja, Kabupaten Garut. Keluarga Abidin memang sudah turun-temurun menanam pohon itu dan menggunakan kulit Saeh itu untuk membuat kertas daluang (Tedi Permadi, 2007).

Upaya revitalisasi dan sosialisasi kertas daluang juga dilakukan pada kalangan seniman rupa untuk dijadikan sebagai medium berkarya. Uniknya, kertas daluang ini dapat digunakan beberapa kali. Bila ingin difungsikan sebagai kain, maka kertas itu harus dibasahi secukupnya hingga menemukan elastisitas kain pada umumnya. Hal lainnya, serat pada kertas daluang ini sangat kuat. Tak mengherankan bila naskah-naskah kuno yang berumur ratusan tahun masih nampak utuh. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air (lih. Sakamoto, 2003). Selain itu, kertas daluang dapat dipakai untuk menggambar, menulis, atau melukis. Bahkan daluang ini juga dapat dibentuk menjadi boneka atau topi dengan mengeringkannya di atas cetakan atau model. Kertas daluang ini juga dapat difungsikan seperti halnya kertas biasa, beberapa penulis juga pernah menggunakan kertas daluang untuk mencetak buku, mencetak foto dan lain-lain. Sayangnya, peran pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen kertas ini, yaitu sering memesan kertas daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal, daluang berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional yang layak dijadikan simbol kejayaan kebudayaan bangsa.

3. Penutup

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sebelum kertas diketemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha mencari permukaan-permukaan benda yang sekiranya cocok untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Pada awalnya cara mereka mengungkapkan perasaan melalui suatu kegiatan menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan sebagainya. Setelah kertas ditemukan, keberadaannya dalam kehidupan manusia menjadi relatif penting, karena kertas berfungsi sebagai pencatat ilmu pengetahuan, media untuk promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan.

Kedua, kertas menjadi bagian budaya Eropa melalui perjalanan sejarah yang panjang. Setelah Ts’ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya pada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 Masehi. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang. Pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia. Namun. akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Kemudian muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand. Kemudian berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas agak terlambat, yaitu pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol

Ketiga, pada awalnya kertas daluang ini berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari, misalnya, pakaian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor yang diperkirakan berasal dari abad 3 SM. Masyarakat menamakannya hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari dengan istilah “tapa”. Selain itu, kata daluang telah disebutkan dalam buku Literatur of Java, yang menyatakan bahwa kemunculan nama tersebut berasal pada zaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang saat itu digunakan untuk membuat wayang beber, pakaian pelengkap para Pandita Hindu, media untuk menuliskan mantera orang-orang suci. Bahkan di Bali saat ini pun, daluang hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana untuk kepentingan upacara ritual umat Hindu.

Keempat, upaya revitalisasi dan sosialisasi kertas daluang perlu dilakukan pada semua kalangan untuk dijadikan sebagai medium berkarya agar proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatannya dapat terus dilestarikan. Kertas daluang memiliki serat kuat sehingga naskah-naskah kuno dapat bertahan sampai ratusan tahun. Selain itu, kertas daluang dapat digunakan untuk mencetak buku, mencetak foto dan lain-lain. Sayangnya, peran pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen, yaitu sebagai pemesan kertas daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal, daluang berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional yang layak dijadikan simbol kejayaan kebudayaan bangsa.

Daftar Pustaka

Afriastini, J.J. 1988. Daftar Nama Tanaman. Jakarta : Penebar Swadaya.

Bani Sudardi. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia.

Basri Marzuki. 2008. “Kisah Kain Kulit Kayu yang Layu” dalam http://www.panyingkul.com/ view.php?id=896&jenis=kabarkita, diakses 10 Agustus 2008 Pukul 09:00 WIB.

Casparis, J.D. 1975. De Indonesia Paleography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. Leiden: E.J. Brill.

Churchil, W.A. 1965. Watermarks in Paper in Holland, England, France Etc. in the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Amsterdam: Menno Hertzberger & Co.

Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Endang Sri Hardiati. 2002. “Perkembangan Aksara di Indonesia” dalam Pameran Perkembangan Aksara Di Indonesia. Jakarta: Museum Nasional.

Gallop, Annabel Teh and Bernard Arps. 1991. Surat Emas Raja-raja Nusantara: dari Koleksi Inggris. Jakarta: Yayasan Lontar.

Hart, Michael. H. 1990. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hughes, Sukey. 1978. Washi The World of Japanese Paper. Tokyo, New York and San Fransisco : Kodansha International.

Kumar, Ann and John H. McGlynn. 1996. Illumination: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation.

McGlynn, John. H. 2002. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grolier International, Inc.

Nooryan Bahari. 1995. Karakteristik Kertas Buatan Tangan dengan Bahan Baku Limbah Pertanian,Ttanaman Nonproduktif, dan Sampah Kertas. Bandung: Laporan Penelitian – ITB

Tedi Permadi. 2006. “Cara Membuat Kertas Daluang”. dalam http://daluang.com/cara-membuat-kertas-daluang/ diakses 10 Agustus 2008 Pukul 08:30 WIB.

____________. 2007. ”Kertas Tradisional, Daluang, Bagi Perupa” dalam http://argusbandung.blogspot.com/2007/08/kertas-tradisional-daluang-bagi-perupa.html diakses 10 Agustus 2008 Pukul 09:20 WIB

Sakamoto, Isamu. 2003. Konservasi Naskah. Jakarta: Materi Pelatihan Penelitian Filologi yang diselenggarakan oleh The Toyota Foundation dan Yayasan Pernaskahan Indonesia.

Studley, Vance. 1977. The Art & Craft of Handmade Paper. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal