Disusun oleh:
Irvan Setiawan, S.Sos.
Drs. Tjetjep Rosmana
Dra. Ria Intani T.
Drs. Agus Heryana
Dra. Lina Herlinawati
Diterbitkan oleh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2006
Irvan Setiawan, S.Sos.
Drs. Tjetjep Rosmana
Dra. Ria Intani T.
Drs. Agus Heryana
Dra. Lina Herlinawati
Diterbitkan oleh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2006
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keramik tak pemah lepas dari bayangan segumpal tanah liat yang plastis dan mudah dibentuk menurut kehendak hati si pembuat. Sifat tanah liat yang sangat menurut itu memberikan potensi pendayagunaan yang sangat luas, mulai dari pembuatan batu bata yang kaku hingga pada benda-benda rumah tangga, seperti piring, mangkok, atau patung¬patung yang sangat bebas bentuknya, bahkan dapat dibuat menjadi benda-benda saniter dan isolator listrik.
Akan tetapi, sifatnya yang penting ini tidak akan bermanfaat banyak bagi manusia bila tidak didukung oleh sifat lain yang sama pentingnya, yaitu kemampuannya untuk berubah sifat menjadi keras dan kedap air bila bereaksi dengan api atau benda panas. Gabungan antara kedua sifat inilah yang menyebabkan keramik tumbuh menjadi suatu seni tersendiri yang unik, dengan aspek-aspek teknis yang sering menjadi bagian yang utuh dalam proses kreatifitas mencipta. Penguasaan aspek-aspek teknis dan estetis inilah yang membuat suatu benda keramik mencapai taraf penghargaan yang demikian tinggi, sehingga pada masa silam pantas menghiasi meja raja-raja dan sekarang dapat terpajang dalam museum-museum seni atau museum keramik khusus.
Indonesia memiliki tradisi keramik bakaran rendah (terracotta) yang sangat kaya dan menarik. Gambaran keramik di Indonesia saat ini memperlihatkan suatu gambaran yang kompleks mengenai beberapa aktivitas pembuatan keramik, yang tampaknya berdiri sendiri-sendiri.
Pertama, terdapat keramik pedesaan yang masih memakai teknik yang sangat sederhana, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa akan alat-alat dapur mereka. Aktivitasnya tersebar luas di seluruh Indonesia dan merupakan tradisi yang telah turun temurun dari nenek moyang kita. Di antaranya ada yang mengambil haluan baru walau teknik tetap lama, yaitu membuat benda-benda yang lebih mengarah pada benda hias, seperti di Kasongan, Yogyakarta, Bali. Selain itu, ada industri-industri rumah tangga yang memakai teknik keramik yang sudah lebih maju, yaitu mempergunakan bangunan tungku. Benda-benda yang dihasilkan adalah benda-benda hias untuk keperluan rumah tanggga atau hotel. Misalnya di Plered (Jawa Barat), Palembang (Sumatra Selatan), dan Kiaracondong, Bandung (sudah mengenal glasir).
Kemudian menginjak industri-industri kecil yang sudah jauh berkembang dan merupakan pabrik kecil dengan teknik pembakaran yang cukup tinggi. Misalnya di Malang (Jawa Timur) yang menghasilkan porselin biru putih, Jakarta dan Bali yang menghasilkan keramik bakaran madya untuk rumah tangga, dan sebagainya. Lebih tinggi lagi adalah pabrik-pabrik yang menghasilkan barang-barang dengan cara produk massa, baik peralatan makan maupun bahan bangunan.
Selain itu masih ada lagi suatu kelompok, yaitu para seniman yang tertarik pada ekspresi arstistik dalam media keramik, baik untuk seni murni maupun untuk benda pakai dengan berbagai teknik pembakaran. Masing-masing kelompok di atas tampaknya masih berjalan sendiri-sendiri dan jarang mengadakan kontak satu sama lain. Pada dasarnya masing-masing memiliki titik tolak yang berbeda, baik dalam pemasaran maupun dalam teknik yang dipakainya. Akan tetapi, prinsip keramik semuanya sama, yaitu perpaduan antara elemen-elemen teknis dan estetis.
Sejak tahun 1904 Plered dikenal sebagai kawasan industri keramik. Ketenaran tersebut tidak hanya dikenal luas oleh masyarakat Jawa Barat saja tetapi juga masyarakat di luar provinsi terutama Jakarta. Saat itu, yang diproduksi hanyalah berupa peralatan rumah tangga. Seperti coet, kendi, wajan, teko,dll. Peningkatan kualitas produksi terjadi tahun 1978. Para perajin mampu mengubah jenis produksi dari peralatan rumah tangga menjadi keramik barang hiasan rumah tangga. Sejak itulah hasil produksi kerajinan Plered mengalami kejayaan. Selain laku dijual di daerahnya sendiri, kini mampu dijadikan komoditas ekspor ke beberapa negara di Amerika Serikat dan Eropa. Industri keramik Plered merupakan salah satu produk unggulan di Indonesia. Hasil Keramik dari Plered ini terbukti mampu mengalahkan tiga daerah penghasil produk keramik seperti Lombok (NTB), Yogyakarta dan Malang Jatim. Ketenaran ini juga ditunjang dengan ruas jalan utama yang menghubungkan antara Bandung – Jakarta, sehingga masyarakat yang hendak ke Bandung atau ke Jakarta pasti akan melewati ruas jalan Plered yang dipenuhi dengan keramik dari berbagai bentuk dan variasi yang unik dan menarik.
Usaha Keramik di Plered muncul tentu bukan dengan sendirinya. Proses pewarisan dari nenek moyang mereka, etos kerja, dan kandungan tanah liat yang tergolong sangat bagus telah tersedia di wilayah Plered.
Telah dikenalnya kota Plered sebagai penghasil keramik membuat pesanan dari berbagai daerah semakin meningkat. Proses pembuatan yang dilakukan secara tradisional tentu tidak dapat mengejar omzet yang harus dipenuhi dalam jumlah besar. Oleh karena itu, inovasi dalam bidang proses pembuatan dan pengembangan motif keramik serta asesoris amat diperlukan untuk mengejar omzet tersebut. Adapun inovasi yang banyak terjadi adalah segi kepraktisan yang ditunjang efisiensi kerja dan biaya yang lebih murah dan cepat. Bentukan seperti itu kini mulai berkembang di kalangan pengrajin dan dianggap mampu mengejar omzet dan daya saing dengan penghasil keramik dari daerah lain.
Kendala belum ditemukan inovasi yang tepat guna yang dilakukan saat ini, lambat laun peralatan dan sistem teknologi tradisional pembuatan keramik yang telah dipergunakan sejak lama mulai ditinggalkan. Dalam situasi persaingan dagang dengan produk serupa lainnya, baik keramik, ataupun komoditi lain, kasus seperti ini memang telah biasa. Walaupun demikian, alangkah sangat disayangkan apabila teknologi tradisional pembuatan keramik yang selama ini dipakai masyarakat Plered ditinggalkan begitu saja tanpa ada upaya pelestarian. Dan, hal inipun pernah disampaikan oleh Bupati Purwakarta Drs. H. Lili Hambali Hasan kepada “PR” (Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Agustus 2003). Beliau mengatakan bahwa “Kota Plered yang telah dikenal luas sebagai sentra Keramik dan Kota Santri harus jadi pelopor keberhasilan membangun sumber daya manusia”. Selain itu, sesuai dengan komitmennya antara bupati dan wakil bupati, Pemda Purwakarta telah membentuk empat core business, yaitu memaksimalkan produk pertanian, pengembangan industri, jasa, dan pariwisata untuk mensejahterakan masyarakat Purwakarta.
B. Permasalahan
Hal yang berbau tradisional secara umum dipandang sebagai suatu benda atau perkataan yang dianggap “kolot” dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pandangan umum ini memang sebagian benar karena bagian dari budaya sekarang menuntut adanya perubahan dari suatu budaya terdahulu agar sesuai dengan prinsip keharmonisan hubungan sosial dan kepraktisan kerja. Walaupun demikian, pada sisi lain, hal yang berbau tradisional pada kelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai suatu bentukan yang unik dan patut dijaga kelestariannya. Pandangan yang ada tentunya tertuju pada produk materi dari sebuah kebudayaan atau tradisi. Demikian juga halnya dengan kelangsungan teknologi tradisional pembuatan keramik Plered. Sebagian masyarakat menghendaki keramik yang dibelinya merupakan jenis keramik yang dibuat bernuansa tradisional dan estetis. Hasilnya tentu akan sangat berbeda dengan keramik yang dibuat bernuansa penuh dengan gaya modern (kebarat-baratan). Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah pada masalah tentang bagaimana ciri dan nuansa ketradisionalan yang digunakan untuk membuat keramik Plered. Selain itu, fokus lainnya adalah proses pembuatan keramik Plered saat ini mulai dari bahan mentah hingga menjadi bentuk jadi; Sistem upah dan penjualan yang berperan penting dalam kelangsungan karya dan kehidupan pengrajin keramik.
C. Kerangka Pemikiran
Teknologi adalah jumlah keseluruhan dari teknik-teknik yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat, yaitu keseluruhan dari cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dari lingkungannya dan memprosesnya menjadi alat-alat kerja, alat untuk menyimpan, makanan, pakaian, perumahan, alat-alat transportasi, dan kebutuhan lain yang berupa materiil. Adapun yang dimaksud dengan sistem teknologi tradisional adalah peralatan serta cara-cara mempergunakan peralatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat masih sederhana dan diwariskan secara turun menurun.
Istilah keramik diambil dari bahasa Belanda yang ber¬arti barang-barang tembikar, seperti porselen dan lain-lain. Dalam Ensiklopedi Umum diterangkan bahwa keramik ialah semua benda yang dibuat dari tanah liat yang terutama terdiri dari silikat. Tembikar ialah "semua barang dari tanah liat yang dibakar, mulai dari yang kasar, tidak mengkilap, dengan hiasan sederhana, yang mengkilat dan besar, serta barang-barang batu seperti porselen dan barang-barang halus"'. Barang-barang tembikar banyak sekali yang bernilai tinggi dan mempunyai corak tertentu sesuai dengan negeri asal¬nya, seperti tembikar Koln dari Jerman, tembikar Delf dari negeri Belanda, tembikar Kopenhagen, tembikar Cina, dan lain-¬lain. Tembikar-tembikar ini sekarang lebih populer dengan sebutan barang antik.
Berdasarkan pengertian di atas, seorang pengusaha ke¬ramik di Plered memberi definisi sebagai berikut: Keramik berarti segala barang, selain logam, yang dibuat dengan jalan dibakar. Dengan pengertian ini maka barang-barang seperti piring, gelas, porselen, genting, kendi, dan lain-lainnya ter¬masuk keramik. Alat bakarnya bisa dengan menggunakan kayu bakar, minyak tanah, gas, atau listrik.
Keramik Plered merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Kabupaten Purwakarta. Kerajinan Tradisional menurut Darminto (dalam Herayati dkk, 1987: 2) memiliki kekhasan yakni mengandung nilai-nilai estetik. Oleh karena itu, sebagian besar benda-benda kerajinan tradisional lebih cenderung dikatagorikan sebagai seni kriya. Adapun seni kriya adalah hasil karya yang bersifat terapan, artinya diciptakan dengan kesadaran dan rasa keindahan dan dikerjakan oleh perorangan dengan telaten untuk dipakai atau dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Astana dkk (www.ipteknet.go.id, 27 Januari 2006) mengatakan bahwa keramik adalah semua benda-benda yang terbuat dari tanah liat/lempung yang mengalami suatu proses pengerasan dengan pembakaran suhu tinggi. Pengertian keramik yang lebih luas dan umum adalah "bahan yang dibakar tinggi" termasuk di dalamnya semen, gips, metal dan lainnya. Jenis badan keramik menurut kepadatan terdiri dari beberapa macam, yaitu:
- 1. Gerabah (Earthenware), dibuat dari semua jenis bahan tanah liat yang plastis dan mudah dibentuk dan dibakar pada suhu maksimum 1000°C. Keramik jenis ini struktur dan teksturnya sangat rapuh, kasar, dan masih berpori. Agar kedap air, gerabah kasar harus dilapisi glasir, semen atau bahan pelapis lainnya. Gerabah termasuk keramik berkualitas rendah apabila dibandingkan dengan keramik batu (stoneware) atau porselin. Bata, genteng, paso, pot, anglo, kendi, gentong dan sebagainya termasuk keramik jenis gerabah. Genteng telah banyak dibuat berglasir dengan warna yang menarik sehingga menambah kekuatannya.
- 2. Keramik Batu (Stoneware), dibuat dari bahan lempung plastis yang dicampur dengan bahan tahan api sehingga dapat dibakar pada suhu tinggi (1200°-1300°C). Keramik jenis ini mempunyai struktur dan tekstur halus dan kokoh, kuat dan berat seperti batu. Keramik jenis ini termasuk kualitas golongan menengah.
- 3. Porselin (Porcelain), adalah jenis keramik bakaran suhu tinggi yang dibuat dari bahan lempung murni yang tahan api, seperti kaolin, alumina dan silika. Oleh karena badan porselin jenis ini berwarna putih bahkan bisa tembus cahaya, maka sering disebut keramik putih. Pada umumnya, porselin dipijar sampai suhu 1350°C atau 1400°C, bahkan ada yang lebih tinggi lagi hingga mencapai 1500°C. Porselin yang tampaknya tipis dan rapuh sebenarnya mempunyai kekuatan karena struktur dan teksturnya rapat serta keras seperti gelas. Oleh karena keramik ini dibakar pada suhu tinggi maka dalam bodi porselin terjadi penggelasan atau vitrifikasi. Secara teknis keramik jenis ini mempunyai kualitas tinggi dan bagus, di samping mempunyai daya tarik tersendiri karena keindahan dan kelembutan khas porselin. Juga bahannya sangat peka dan cemerlang terhadap warna-warna glasir.
- 4. Keramik Baru (New Ceramic), adalah keramik yang secara teknis diproses untuk keperluan teknologi tinggi seperti peralatan mobil, listrik, konstruksi, komputer, cerobong pesawat, kristal optik, keramik metal, keramik multi lapis, keramik multi fungsi, komposit keramik, silikon, biokeramik, dan keramik magnit. Sifat khas dari material keramik jenis ini disesuaikan dengan keperluan yang bersifat teknis seperti tahan benturan, tahan gesek, tahan panas, tahan karat, tahan suhu kejut seperti isolator, bahan pelapis, dan komponen teknis lainnya.
D. Tujuan
Kondisi kekinian yang menuntut serba cepat ternyata tidak dapat memenuhi seluruh selera dan keinginan masyarakat. Hal yang berbau tradisional pada beberapa kelompok masyarakat masih menjadi menu utama yang terus menuntut untuk segera terpenuhi. Tujuan penelitian ini adalah deskripsi tentang sistem teknologi tradisional pembuatan keramik yang dilakukan warga di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Manfaat penelitian ini adalah menambah referensi dan pengetahuan bagi masyarakat yang ingin mengenal bagaimana cara dan alat tradisional yang dipergunakan untuk membuat keramik. Selain hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta untuk mengembangkan potensi masyarakat dalam membuat keramik secara tradisional mengingat pangsa pasar bagi kalangan tertentu amat diminati.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini mencoba untuk melihat sejarah singkat asal usul keramik Plered, proses pembuatan keramik yang di dalamnya akan dibahas di antaranya tentang proses pemilihan bahan mentah, ragam peralatan yang digunakan, motif dan bentuk keramik, dan proses pembuatan. Selain itu juga akan dipaparkan ritual yang (mungkin) mengingat sendi kehidupan budaya dan agama di Plered masih tergolong kental. Pada bagian akhir akan dipaparkan proses pemasaran yang menjadi inti kelangsungan dan kelestarian usaha keramik Plered.
F. Lokasi Penelitian
Plered dan keramik adalah sebuah ciri yang telah lekat. Ada beberapa wilayah di Kecamatan Plered yang menjadi sentra pengrajin keramik. Sementara itu, faktor pendukung dalam proses hilir dan hulu mencakup semua wilayah di Kecamatan Plered. Oleh karena itu, Untuk mendapatkan data yang lengkap, penelitian ini memilih wilayah yang menjadi sentra pengrajin keramik yaitu desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat.
G. Metode Penelitian
1. Metode dan Analisa Data
Penelitian menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kegiatan pengrajin dalam proses pembuatan sejak mulai awal produksi hingga proses penjualan. Dengan metode ini diharapkan permasalahan yang ada dapat dilihat dan diungkapkan apa adanya, berdasarkan sudut pandang para pelaku. Analisa data yang telah terkumpul dilakukan secara kualitatif. Meskipun demikian, data kuantitatif tetap ada dalam penelitian ini tetapi prosentasenya relatif sedikit. Tujuan penerapan data kuantitatif ini adalah untuk mendukung analisa kualitatif. Sudjatmiko (1998: 1) mengatakan bahwa data kualitatif harus memperhatikan akurasi dan presisi data sehingga dapat diperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap obyek penelitian. Hidayat (2000: 8) menambahkan bahwa pemahaman yang mendalam terhadap data kualitatif amat diperlukan karena bersifat non struktur, dan bahkan pada beberapa konsep penelitian yang ada belum dapat dijabarkan dan dipilah secara tepat.
2. Pengumpulan Data
Data yang hendak dikumpulkan meliputi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder akan dicari dalam bentuk dokumen yang terbagi dalam 3 jenis yaitu dokumen formal, non formal, dan pribadi. Data primer, baik berbentuk data kualitatif ataupun kuantitatif dicari dengan menggunakan observasi berkerangka yang dilanjutkan dengan melakukan intervieuw kepada responden/informan.
Ketiga proses di atas yaitu observasi berkerangka, intervieuw dan pencarian dokumen (formal, non formal, pribadi) tentu memerlukan instrumen penelitian. Bentuk instrumen penelitian tersebut adalah pedoman wawancara yang amat berguna untuk mengarahkan dan memprioritaskan pencarian data yang sangat penting. Selain pedoman wawancara, alat lain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tape recorder. Data yang telah terkumpul akan dipilah melalui proses editing yaitu pemilahan jawaban responden antara yang akurat dan tidak akurat.
3. Pemilihan Responden dan Informan
Mengingat data identitas penduduk yang ada di lokasi penelitian bersifat dinamis dan selalu berganti, sangat sulit menentukan responden secara random sampling. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan responden pada penelitian ini lebih mengarah pada pencarian yang bersifat non random sampling dengan menempatkan pilihan pada jenis purposive random sampling yang diikuti dengan teknik snow ball sampling agar kelangsungan proses pencarian dan akurasi data dapat tetap terjaga. Selain responden, pencarian data juga dilakukan pada key informan yaitu individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang liku-liku proses pembuatan keramik.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Keadaan Alam
Kecamatan Plered terletak 15 Km sebelah barat daya kota Purwakarta. Secara administratif kecamatan Plered dengan wilayah seluas 2.966,4527 Ha terbagi menjadi 16 Desa, 42 dusun, 242 RT, dan 86 RW. Keseluruhan desa di Kecamatan Plered menurut klasifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Purwakarta tahun 2002 dimasukan ke dalam desa swakarya. Dengan kata lain, terdapat kreatifitas kekaryaan yang cukup menonjol dan timbul dari kalangan masyarakat sendiri. Di antara desa tersebut terdapat Desa Anjun. Desa Anjun terdiri dari 4 kampung, yaitu kampung Anjun, Gunung Cupu, Lio, dan Cidadap. Kabupaten Purwakarta merupakan bagian wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak diantara 107030’-107040’ BT dan 6025’-6045’ dengan luas wilayah 97.172 Ha atau 971,72 Km2. Berkisar 2,81% dari luas Propinsi Jawa Barat
Desa Anjun dapat dicapai melalui jalan darat yang cukup baik dan desa ini merupakan pintu gerbang kota kecamatan, baik dari Bandung yang langsung ke desa Anjun maupun dari Purwakarta dan Jakarta. Biasanya orang-orang yang datang, atau pergi, ke desa atau ke luar desa ini menggunakan kenda¬raan colt mini, Sedangkan angkutan barang dari desa ke luar desa, khususnya angkutan barang-barang kerajinan tangan yang akan dijual di luar desa, selain menggunakan colt atau truk juga dapat menggunakan kereta api barang yang berhenti di stasiun kereta api Plered. Angkutan lokal (dalam kota Plered), baik untuk barang-barang maupun manusia, biasa menggunakan becak dan gelebeg (sejenis gerobak yang ditarik kuda).
Luas desa Anjun sekitar 138,870 ha. Dilihat dari peng¬gunaan tanahnya, sebagian besar terdiri dari kawasan pertani¬an (palawija), sawah, dan tempat pemukiman penduduk. Se¬cara terperinci penggunaan tanah di desa Anjun dapat diper¬inci sebagai berikut: perumahan seluas 37,350 ha, sawah 12 ha, kuburan 1 ha, tegalan 54,750 ha (digunakan tempat pangangon¬an dan palawija), tanah titisara 3,540 ha, wakaf 1 ha, kolam 3,500 ha, tanah yang beium dimanfaatkan sekitar 11 ha dan lain-lain 26,560 ha.
Keadaan cuaca di desa Anjun termasuk iklim tropis ber¬kisar antara 26 - 30 derajat Celcius dengan ketinggian sekitar 256,91 meter dari permukaan laut. Sepanjang jalan desa Anjun, yang merupakan pintu gerbang menuju kota kecamatan, sudah dipadati rumah penduduk, yang banyak di antara itu digunakan untuk menjual barang-barang kerajinan rakyat, setempat. Meskipun rumah-rumah itu terletak. kurang ber¬aturan tetapi cukup menarik untuk digunakan sebagai salah satu turist resort dalam program inter city tour di daerah Jawa Barat. Agak ke dalam dari jalan raya tersebar perumahan penduduk yang semuanya menjadi tempat para pengrajin keramik Plered.
Batas-batas wilayah desa Anjun adalah sebagai berikut:
• Sebelah utara dibatasi desa Liunggunung,
• sebelah selatan desa Plered,
• sebelah barat berbatasan dengan desa Liunggunung dan desa Plered,
• sebelah timur dibatasi oleh Desa Cianting.
B. Kependudukan
1. Jumlah Penduduk
Menurut monografi desa Anjun pada tahun 1984, pen¬duduk desa berjumlah sekitar 2.532 orang yang terdiri atas penduduk keturunan asli 2.527 orang yang terdiri dari 1.069 orang laki-laki dan 1.458 orang perempuan. Jumlah penduduk dewasa ada sekitar 522 orang laki-laki dan 713 perempuan, sedangkan jumlah anak-anak ada sekitar 547 orang laki-laki dan 745 perempuan.
Jumlah penduduk keturunan asing tidak banyak di desa itu, ada sekitar 5 orang yang terdiri dari 4 orang keturunan Arab dan seorang laki-laki keturunan Cina. Keturunan Arab terdiri dari seorang laki laki dan 3 orang perempuan.
Penyebaran penduduk untuk tiap kampung tidak me¬rata. Jumlah penduduk per kampung adalah sebagai berikut: Penduduk kampung Anjun ada sekitar 815 jiwa, kampung Gunung Cupu sekitar 665 jiwa, kampung Lio sekitar 447 jiwa, dan penduduk Kampung Cidadap sekitar 600 jiwa.
Pada tahun 2003 jumlah penduduk di Kecamatan Plered bertambah – termasuk desa Anjun - seiring dengan meningkat sehingga memiliki angka kepadatan penduduk 496 jiwa/km2. Peningkatan tersebut disebabkan kenaikan jumlah angka kelahiran, tingkat kesehatan yang semakin baik, dan arus migrasi.
Saat ini jumlah sarana kesehatan di Kecamatan Plered dapat digolongkan kurang memadai. Hal ini terlihat dari belum didirikannya rumah sakit umum. Sementara untuk sarana pelayanan kesehatan masyarakat masih dilakukan pada rumah sakit bersalin (1 buah), puskesmas pembantu (4 buah), posyandu (67 buah), balai pengobatan (5 buah), BKIA (1 buah), apotik (1 buah), dokter praktek swasta (5 orang), dokter umum (1 orang), dan bidan (9 orang).
Secara keseluruhan pada tahun 2003, jumlah penduduk kecamatan Plered menempati urutan ke-5 dari 17 kecamatan di Purwakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
TABEL 1
Jumlah Penduduk Purwakarta Tahun 2003
No Kecamatan Jumlah
Desa/Kel L P L+P
1 2 3 4 5 6
1 Jatiluhur 10 26,701 27,459 54,160
2 Sukasari 5 6,929 6,878 13,807
3 Maniis 8 14,007 13,706 27,713
4 Tegalwaru 13 21,605 20,776 42,381
5 Plered 16 32,338 32,834 65,172
6 Sukatani 14 29,617 29,146 58,763
7 Darangdan 15 27,477 27,572 55,049
8 Bojong 14 21,119 20,869 41,988
9 Wanayasa 15 18,024 17,869 35,893
10 Kiarapedes 10 12,381 11,554 23,935
11 Pasawahan 12 18,221 18,525 36,746
12 Pondoksalam 11 12,754 12,806 25,560
13 Purwakarta 10 68,429 6,899 75,328
14 Babakan Cikao 9 18,722 18,515 37,237
15 Campaka 10 16,503 16,128 32,631
16 Cibatu 10 12,809 12,119 24,928
17 Bungursari 10 18,733 19,476 38,209
Jumlah 192 376,369 313,131 689,500
Sumber : Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan KB Kab. Purwakarta tahun 2004.
Pada tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa penduduk yang menempati 16 Desa pada kecamatan Plered pada tahun 2003 berjumlah 65,172 yang terdiri dari 32,338 jumlah penduduk laki-laki dan 32,834 perempuan.
Jumlah penduduk kecamatan Plered tersebut tersebar tidak merata di setiap desa Berikut perumahan yang ada. Hal tersebut tampak pada tabel 2 di bawah ini.
TABEL 2
Jumlah KK per desa dan Rumah Tinggal di Kecamatan Plered Tahun 2003
No Desa/Kelurahan Jumlah Keluarga Jumlah Bangunan Rumah
1. Rawasari 640 600
2. Gandasoli 750 715
3. Gandamekar 657 539
4. Cibogohilir 1,226 1,227
5. Palinggihan 953 934
6. Babakansari 522 508
7. Plered 1,013 851
8. Sindangsari 978 818
9. Citeko 922 728
10. Citeko Kaler 683 607
11. Linggarsari 876 742
12. Pamoyanan 1,119 1,246
13. Liunggunung 1,237 1,023
14. Anjun 944 780
15. Cibogogirang 1,314 1,004
16. Sempur 1,151 1,090
Jumlah 14,985
13,412
Sumber : Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan KB tahun 2004.
Terlihat pada tabel 2 di atas desa yang memiliki jumlah keluarga terbanyak adalah Desa Cibogogirang yaitu 1,314 keluarga. Mereka menempati 1,004 rumah. Dengan kata lain bahwa setiap rumah dihuni dihuni paling sedikit 2 keluarga.
2. Kependidikan
Lingkungan pendidikan formal memang menjadi minat siswa dan siswi di Kecamatan Plered. Hal ini diantisipasi pemda Plered dengan membangun sejumlah bangunan mulai tingkat TK hingga SLTA untuk menampung minat belajar siswa. Sebagai tenaga pengajar setidaknya telah tercantum sejumlah guru yang mengisi 4 jenjang kependidikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
TABEL 3
Jumlah Bangunan Sekolah, Siswa di Kecamatan Plered Tahun 2003
No Jenis Bangunan Jumlah Bangunan Jumlah Murid Jumlah Guru
1. TK 4 152 7
2. SD 37 8.988 262
3. SLTP 4 2.934 118
4. SLTA 2 720 54
Jumlah 47
884
441
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta tahun 2004.
Kenaikan jenjang pendidikan mulai jenjang SD hingga PT mengalami grafik penurunan. Hal ini terlihat dari angka minat siswa SD untuk meneruskan ke jenjang SLTP cukup lumayan, yaitu 45%. Prosentase tersebut menurun pada minat untuk meneruskan ke jenjang SLTA yaitu 30%. Dan terakhir adalah minat untuk ke jenjang PT hanya sebesar 15%.
3. Keagamaan
Sebagian besar dari warga Kecamatan Plered adalah beragama Islam. Komposisi penganut agama dalam prosentase adalah Islam sebanyak 59.713 orang (98,96%), Kristen 39 orang (0,98%), dan Budha 1 orang (0,06%). Ketaatan umat Islam di Kecamatan Plered dalam melakukan perintah ajaran agama Islam relatif masih kental. Hal ini terlihat dari sepinya para lelaki dewasa di pusat keramaian, sekolah dan kantor-kantor saat jumat siang karena semua pergi ke Mesjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Selain itu, meski tidak sesepi saat shalat Jumat, kumandang azan untuk segera melaksanakan shalat lima waktu disertai dengan gerak langkah kaki mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah di mesjid dan surau-surau kampung. Sarana peribadatan umat Islam di Kecamatan Plered cukup banyak. Terdapat tidak kurang dari 75 mesjid dan 188 mushalla untuk menampung jamaah.
Wiridan bersama untuk keselamatan seluruh warga kampung, adanya pendidikan membaca Al Quran di mesjid dan di surau-surau baik untuk orang dewasa maupun anak-anak, pendidikan agama melalui berbagai ceramah oleh para ulama setempat ataupun dari luar desa yang diundang ke desa Anjun.
Ketaatan dalam beribadah disertai dengan pola pendidikan agama yang masih cukup kental di desa Anjun dilatarbelakangi oleh keberadaan tokoh penyebar agama Islam yang sudah sangat dikenal yaitu Ajengan Sempur atau Mama Sempur. Mama Sempur adalah seorang tokoh agama Islam yang disegani dan terkemuka. Hingga saat ini banyak pengunjung baik dari daerah Plered maupun dari luar daerah yang berziarah ke makam tersebut. Letak makam Mama Sempur adalah di desa Sempur-Plered, 14 km dari kota Purwakarta, yang otomatis berdekatan dengan desa Anjun sehingga nuansa keislaman yang mengalir dari desa Sempur juga dirasakan oleh penduduk desa Anjun. Hingga saat ini tidak jarang masyarakat desa Anjun melaksanakan ziarah ke makam Keramat Sempur.
4. Mata Pencaharian Penduduk
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Purwakarta yang menitik beratkan kepada 3 Basic Core yaitu Pendidikan, Agama, dan Kesehatan dengan kebijakan khusus pada sektor ekonomi melalui 4 Core Business yaitu terdiri dari Agribisnis, Industri, Jasa dan perdagangan serta pariwisata akan memperoleh suatu ksempatan yang baik dalam mengembangkan aspek tersebut. Dari ke empat core bisnis tersebut diatas, di antaranya adalah mengenai industri dan perdagangan. Kebijakan ini lebih menekankan terhadap pengembangan industri kecil yang memiliki potensi yang cukup menjanjikan. Pengembangan sentra industri keramik Plered ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang ditempuh. Hal ini cukup beralasan karena industri kerajinan keramik hias ini merupakan primadonanya sentra Industri kerajinan rakyat di Purwakarta dan juga sebagai penghasil komoditi ekspor yang sangat potensial, sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Purwakarta khususnya, maupun untuk kepentingan devisa negara. Saat ini jumlah perajin keramik hias di Plered tercatat sebanyak 30 orang.
Selain sebagai pengrajin, penduduk di Kecamatan Plered juga berprofesi sebagai petani yang menggarap wilayah persawahan seluas 1.197 ha. Mereka (petani) menggarap dan mengairi lahan persawahannya dengan menggunakan 5 cara seperti terlihat pada tabel 4 di bawah ini.
TABEL 4
Jenis Pengairan lahan Persawahan Berdasarkan Luas (ha)
di Kecamatan Plered
No Jenis Pengairan Jumlah Masa Tanam Pertahun
>= 2 X Setahun 1 Kali Setahun
1. Irigasi Teknis 235 0
2. Irigasi Setengah Teknis 315 0
3. Irigasi Sederhana 188 0
4. Irigasi Non PU 108 0
5. Tadah Hujan 0 351
Jumlah 846
351
Sumber: Dinas Pertanian TP dan Perkebunan Purwakarta Tahun 2002.
Terlihat pada tabel 4 di atas bahwa jumlah lahan persawahan yang menggunakan irigasi lebih luas (846 ha) dibandingkan dengan tadah hujan (351 ha). Penghasilan petani irigasi pada akhirnya meningkat mengingat lahan sawah mereka ditanami padi setidaknya 2 kali dalam setahun, sementara sawah tadah hujan - sesuai dengan karakter musim hujan di Indonesia – hanya mengais panen sekali dalam setahun.
Pertanian merupakan sektor yang cukup diminati penduduk Plered dan meraih prosentase terbesar yakni 44,64 %. Berdasarkan prosentase, jenis pekerjaan lainnya yang diminati adalah sektor jasa dan perdagangan (14,32%), sektor industri (12,41%), dan sektor lain-lain 28,63%).
C. Transportasi
Transportasi merupakan sarana penunjang yang sangat penting dalam mobilitas penduduk desa Anjun untuk mencapai suatu tujuan dengan berbagai macam keperluan. Kaitannya dengan usaha kerajinan keramik adalah sangat jelas karena transportasi mendukung kelancaran pengiriman bahan baku, dan bahan jadi yang siap dikirim ke luar daerah. Jenis transportasi yang biasa digunakan adalah kendaraan bak terbuka untuk jenis keramik dengan kualitas sedang, sedangkan untuk kualitas ekspor biasanya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kotak dan ditaruh dalam truk bak tertutup (box) agar proses pengiriman tidak mengalami gangguan kerusakan pada barang (keramik) kiriman. Biasanya untuk pengiriman dengan menggunakan kendaraan bak tertutup ditujukan kepada pengirim dari luar daerah, bahkan luar negeri. Mereka sangat menjaga keutuhan barang kiriman tersebut.
Selain transportasi barang, jenis transportasi yang sangat banyak digunakan adalah untuk mengangkut penumpang. Terdapat berbagai jenis transportasi di antaranya ojeg, becak, colt, angdes (angkutan pedesaan), elf, dan bus. Seluruh jenis transportasi tersebut berjumlah sangat banyak dan cenderung tidak memperhatikan kualitas kondisi jalan dan penumpang. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan dan kemacetan lalu lintas di ibukota kecamatan Plered yang terjadi pada hampir setiap waktu.
Jenis angkutan tradisional yang masih bertahan hingga sekarang adalah delman. Angkutan tersebut hingga saat ini masih kerap digunakan masyarakat yang hendak bepergian dengan rute yang tidak begitu jauh.
Pusat pelayanan komunikasi di desa Anjun masih mengandalkan pada ibukota kecamatan Plered. Terlihat dari segi jumlah kantor pos yang ada di kecamatan Plered saat ini hanya 1 buah sedangkan kantor pos cabang pembantu belum ada. Sementara itu, Kantor telekomunikasi juga hanya 1 buah. Walaupun demikian, telah ada sedikitnya 10 wartel yang mendukung kantor telkom dalam membantu melayani masyarakat. Kehadiran wartel dengan jumlah tersebut dapat saja disebabkan maraknya kehadiran hand phone (telepon genggam) sehingga usaha wartel dirasa kurang diminati masyarakat desa Anjun.
BAB III
KERAMIK PLERED
KERAMIK PLERED
A. Sejarah Singkat Asal Mula Pembuatan Keramik Plered
Plered dan keramik merupakan dua hal yang saling mengingatkan. Artinya, apabila orang mengucap kata Plered maka akan teringat bahwa daerah tersebut terkenal dengan keramik, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut menjadi satu pertanyaan besar tentang bagaimana proses dan asal mula masyarakat mengenal keramik dan cara pembuatannya, dan pemilihan Plered sebagai sentra pengrajin keramik di purwakarta.
1. Plered
Wilayah Plered sudah menjadi salah satu wilayah hunian manusia sejak jaman Neolitikum. Pada jaman tersebut, penduduk telah berdatangan di daerah Cirata menyusuri sungai Citarum. Dari hasil penggalian di daerah Cirata ditemukan peninggalan dari batu, kapak persegi, dan alat untuk menumbuk dan alu dari batu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk daerah tersebut memilki kegiatan bertani, berhuma di ladang, menanam padi dan berburu, di daerah Cirata, juga diketemukan belanga dan periuk dari tanah, yang pembuatannya sangat sederhana. Di daerah Cirata telah ada panjunan (anjun), tempat membuat barang-barang dari tanah liat yang disebut gerabah. Sedangkan di daerah Plered telah terdapat kelompok manusia atau penduduk di daerah Panjunan / Anjun, Plered, Nanggorak, Citalang, Gandasoli, dan Cirata. Di daerah Panjunan / Anjun, penduduknya sudah membuat gerabah dan tanah liatnya diambil dari Citalang dan Citeko.
Cerita mengenai asal usul nama Plered terdapat 2 (dua) versi. Versi pertama, berasal dari masa tanam paksa di jaman penjajahan Belanda, Diamana Plered – Cianting – Bunder – Selaeurih – Kembangkuning menuju Cikao Bandung. Dari Cikao Bandung kemudian iangkut memakai rakit sepanjang Sungai Citarum menuju Curug, Karawang. Dari Karawang diteruskan ke Tanjung Priok. Pengangkutan kopi tersebut ada juga yang melalui Pelabuhan Cirata. Pada masa tersebut, Jalan Raya Purwakarta – Cikampek – Kosambi masih belum ada dan baru dibangun setelah adanya jalan kereta api pada tahun 1905. Pedati pengangkut kopi tersebut dibuat dipapan kayu. Rodanya pun dari papan dan tidak memakai jari-jari, ditarik kerbau, sehingga kuat sekali kalau melalui jalan lumpur. Pedati kecil tersebut disbut pelered. Karena sekitar daerah Plered sekarang banyak sekali pelered untuk mengankut kopi, bamboo, kayu, tanah liat dan lain-lain, maka tempat itu dinamakan Pelered dan berkembang menjadi Plered.
Versi kedua, berasal dari masa setelah serangan Mataram ke Batavia (Jayakarta atau Jakarta). Pada tahun 1628 dan 1629, tentara Kerajaan Mataram menyerbu Batavia untuk mengusir VOC dari Batavia. Ada yang melalui laut dari semarang- Cirebon –Batavia, dan ada pula yang melalui darat dari Jogyakarta – Purwokerto – Semarang – Cirebon – Indramayu – Pamanukan – Cikampek - Karawang - Batavia. Karena kekurangan senjata dan bahan makanan, maka kedua serangan tersebut gagal. Tentara Mataram mengundurkan diri, tetapi mereka tidak mau pulang ke tempat asal. Sebagian ada yang menuju selatan, dan sampailah di daerah Panjunan (Anjun atau tempat membuat gerabah). Di antara rombongan tersebut, ada orang-orang yang berasal dari Plered Yogyakarta, yang dulunya sebelum menjadi prajurit bekerja sebagai tukang gerabah. Di Plered Yogyakarta juga terkenal tempat membuat gerabah atau keramik yang bagus. Menetaplah mereka di daerah Panjunan dan bekerja menjadim tukang gerabah sesuai dengan profesi semula, tetapi ada juga yang beralih menjadi petani. Untuk mengenang tempat kelahirannya, mereka kemudian memberikan nama Plered kepada tempat kediaman mereka yang baru. Tentara Mataram selebihnya yang berasal Kroya Purwokerto, terus menuju selatan dan memberikan nama Kroya di daearah warung Jeruk, tempat kediaman mereka yang baru.
2. Desa Anjun
Desa Anjun, yang berada di Kecamatan Plered dan terletak sekitar 15 km dari Kota Purwakarta, masyarakatnya selain dikenal sebagai masyarakat petani sawah, juga dikenal sebagai pengrajin barang-barang kerajinan alat rumah tangga yang dibuat dari tanah liat (keramik). Anjun sendiri dalam Kamus Umum Basa Sunda berarti tukang nyieun barang garabah `tukang membuat barang gerabah'. Panjunan berarti tempat membuat barang-barang gerabah. Akan halnya menurut masyarakat Desa Anjun, Kecamatan Plered sendiri, anjun berarti barang-barang yang dibuat dari tanah.
Menurut Kamus Umum Basa Sunda 3, anjun berarti tukang nyieun barang gagarabah (tukang membuat barang gerabah). Panjunan berarti tempat membuat barang-barang gerabah. Pengertian ini agak berbeda dengan pengertian yang terdapat di masyarakat desa Anjun, kecamatan Plered. Menurut me¬reka anjun berarti barang-barang yang dibuat dari tanah; ngan¬jun berarti membuat barang-barang dari tanah. Berdasarkan pengertian ini tidak heran bila di Jawa Barat terdapat bebe¬rapa tempat yang bernama panjunan atau anjun dengan mata pencaharian utama penduduknya membuat keramik, setidaknya telah dilakukan semenjak zaman nenek moyang mereka. Hal yang menarik adalah bahwa daerah-daerah pembuatan anjun atau keramik di Jawa Barat hampir selalu berada di daerah yang bernama Plered (Purwakarta, Cirebon, Karawang, dan Banten.
Dengan pengertian di atas, kata anjun dalam bahasa Sunda kira-kira sama kata dalam bahasa Indonesia “keramik” atau tembikar atau dalam bahasa Malaysia disebut seramik (dari bahasa Inggris ceramics). Karena hampir semua penduduk di daerah itu mata pencaharian utamanya membuat anjun (keramik). Oleh karena itu, desa tersebut dinamakan Desa Anjun.
Nama Desa Anjun di Plered mungkin mempunyai hubungan dengan historis dengan nama Panjunan di Cirebon sebagaimana dikemukakan dalam berbagai versi tentang mitos Pangeran Panjunan. Secara semantis dan etimologi memang antara Anjun dan Panjunan ada hubungannya. Panjunan berarti tempat membuat anjun seperti yang telah dikemukakan di atas. Di antara para informan ada yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Panjunan Cirebon tetapi ada pula di antara mereka yang mengatarakan nenek moyang mereka berasal dari Plered (Purwakarta).
3. Sejarah Keramik Plered
Perkembangan tumbuhnya kerajinan keramik Plered sulit dilacak kapan memulainya. Walaupun demikian, dalam data tertulis dikatakan bahwa mulai tahun 1795, yaitu pada masa penjajahan Belanda, di sekitar Citalang Ada Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu bata), serta di sekitar Anjun (Panjunan) untuk pembuatan gerabah. Sejak itulah rumah-rumah rakyat yang semula beratap ijuk, sirap, daun kelapa atau alang-alang di sekitar Plered dan di kabupaten karawang mulai diganti dangan atap genteng. Genteng-genteng itu dibuat dengan memakai cetakan tradisional.
Menurut salah seorang tokoh keramik Plered yaitu Bapak Darma Kapal bahwa usaha kegiatan keramik ada sejak awal abad 20, tepatnya tahun 1904. Beberapa tokoh keramik pada tahun tersebut, di antaranya Dasjan, Sarkun, Wasja dan Suhara sudah memulai membuat keramik hanya saja pada saat itu produksinya berupa keramik gerabah kasar untu kebutuhan alat rumah tangga (benda pakai) seperti Kendi, Tempayan, Paso dan alat rumah tangga lainnya.
Mulai tahun 1935, produk gerabah yang di glasir di Plered menjadi industri rumah tangga. Pada tahun tersebut, terdapat perusahaan Belanda yang membuka pabrik glasir bernama Hendrik De Boa di Warung Kandang, Plered. Luas pabrik pemerintah Indonesia sejak tahun 1979 karena berbahaya bagi pernafasan. Tapi sayang masih ada juga genteng yang menggunakan glasir.
Pada jaman penjajahan Jepang, rakyat Plered sangat menderita seperti halnya di tempat-tempat lain di Indonesia. Rakyat Plered juga harus bekerja sebagai romusha, bekerja di markas Jepang yang letaknya di kaki Gunung Cupu dan Ciganea untuk membuat gua pertahanan tentara Jepang. Di Plered, pabrik De Boa dikuasai oleh Jepang dan namanya diganti menjadi jadi Toki Kojo, sehingga perusahaan tersebut tetap berjalan.
Pada masa kemerdekaan, banyak tukang gerabah ikut maju ke fron peperangan dan turut dalam pasukan rakyat di barisan Benteng atau Hisbullah menyerbu ke fron Padalarang, Tagog Apu atau fron Warung Jeruk. Dengan demikian, produksi gerabah dan keramik di Plered nyaris terhenti sama sekali.
Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 20 Desember 1949, keadaan di Plered berangsur baik, sehingga produksi gerabah dan keramik mulai bangkit lagi. Dalam perjalanan selanjutnya keramik Plered telah mengalami kemajuan yang pesat dan menggembirakan karena dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak serta hasil produksinya dapat memasuki pasar Eksport. Kualitas dan kuantitas produknya meningkat dan akhirnya kegiatan usaha ini menjadi mata pencaharian pokok terutama sebagian besar masyarakat Desa Anjun.
Pada tahun 1950, Bung Hatta membuka resmi Induk Keramik yang gedungnya dekat Gonggo. Mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat buatan Jerman dikirim langsung dari Jakarta. Induk Keramik yang berada di bawah binaan Dinas Perindustrian Jawa Barat memiliki tingkat produksi yang tinggi. Di samping memproduksi sendiri, Induk Keramik juga membimbing industri rumah tangga mulai dari aspek desain,bahan baku, sampai permodalan. Induk Keramik pernah jaya dan gemilang dalam sejarah perkeramikan di Plered. Hal ini dapat dibuktikan dengan produk keramik Plered yang telah digunakan untuk membangun atau menghiasi bagian-bagian dari beberapa gedung penting di Indonesia, yaitu:
- Pembuatan gentong dan jolang besar berukuran tinggi 170 cm dan diameter 150 cm yang dibuat dalam menghadapi Ganefo (Game Of The New Emerging Force) pada tanggal 10 November 1963. Gentong dan Jolang tersebut menghiasi Senayan, Istana Bogor dan Cipanas.
- Pembangunan Masjid Istqlal, dimana badan dan menaranya terbuat dari bata merah kecil yang diproduksi oleh Induk Keramik, karena tanah liat Plered memiliki sifat yang sangat lengket dan padat (plastis) sehingga baik untuk pembangunan.
Sayang sekali, Induk Keramik hanya bertahan 5 tahun, setelah itu bangkrut karena kesalahan manajemen. Pabrik De Boa yang kemudian dikuasai oleh Dinas Perindustrian Jawa Barat juga harus bubar karena kesalahan manajemen. Pada tahun 1975, pernah berdiri PT. Asep Abubakar yang merupakan anak asuh dari Pabrik Semen Cibinong. Perusahaan ini sempat melakukan ekspor, tapi pada tahun 1990 mengalami kebangkrutan.
Pada tahun 1985 juga, seorang putra Plered bernama Suratani yang perah bekerja di Taman Impian Jaya Ancol di bagian keramik, mengadakan pembaharuan. Umumnya, untuk membuat kermik yang indah, gerabah atau biskuitan dari tanah liat harus dibakar 2 (dua) kali. Gagasan yang diusulkan oleh Suratani adalah proses pembakaran gerabah atau biskuitan dari tanah liat tersebut cukup dilakukan sekali saja, kemudian dicat atau dipernis, lalu digosok dengan sikat agar menjadi mengkilat dan tampak indah. Karena gagasan tersebut, banyak produk yang dihasilkan oleh Suratani yang digemari oleh pasar luar negeri, sehingga tiap bulan bisa mengekspor 2 – 3 kontainer. Gagasan tersebut juga membuahkan penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 1985.
Kronologis perkembangan keramik Plered dimulai pada abad 20;
- Generasi pertama Th. 1904 – 1915 ditokohi oleh Ki Dasjan, Sarkun, Aspi dan Entas.
- Generasi kedua dimulai Th. 1920 ditokohi oleh Saad, Tarman, Sura dan Arsah.
- Generasi ketiga berkembang Th. 1925 ditokohi oleh Darma Kapal, Abu Gani, Soleh dan Suarno.
B. Alat dan Cara Membuat Keramik
1. Bahan Dasar Keramik
Kata keramik berasal dari bahasa Yunani “keramos” yang artinya tanah liat, dan “keramikos” yang artinya tanah liat yang dibakar pada temperatur tertentu. Dengan demikian keramik adalah benda yang dibuat dari tanah liat yang dibakar, baik dengan melalui proses pengglasiran ataupun tidak.
Pada dasarnya, semua jenis tanah yang plastis dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat keramik. Akan tetapi, jenis tanah dan cara pengolahannya akan menentukan kualitas. Secara garis besar, bahan yang digunakan untuk pembuatan keramik terbagi dua. Pertama adalah bahan dasar dan lainnya adalah bahan finishing. Bahan dasar adalah bahan pokok/utama, sedangkan bahan finishing adalah bahan yang digunakan pada tahap penyelesaian, seperti mewarnai dan membuat dekorasi.
Sebagaimana halnya pengertian keramik yang telah disebutkan di atas, maka bahan dasar untuk pembuatan keramik hanya satu jenis yaitu berupa lempung atau tanah liat yang berwama merah dan berwarna putih. Tanah lempung berwarna merah atau masyarakat menyebutnya powder, dapat diperoleh penduduk Desa Anjun dari Desa Citeko, yang jaraknya sekitar 5 km dari desa mereka. Akan halnya tanah lempung berwarna putih dulunya bisa didatangkan dari Kampung Cipeundeuy, Kabupaten Tasikmalaya, sekarang bisa diperoleh dari Sukabumi. Ada lagi tanah lumpur, yaitu tanah liat yang telah dicampur dengan air.
Selain tanah lempung, bahan baku pembuatan keramik lainnya adalah pasir sebagai bahan campuran. Pasir ini mereka peroleh dari Sungai Cidadapan, di sekitar Desa Anjun. Pembuatan keramik halus, seperti barang-barang seni dibuat dari tanah lempung putih atau merah yang telah diproses (diluluh) dengan cara menggunakan mesin giling (molen). Tanah liat yang dihasilkannya dinamakan empleg oleh masyarakat. Selain menggunakan mesin, ada pula yang diluluh dengan cara diinjak-injak dengan kaki. Biasanya ada pegawai khusus untuk ngaluluh seperti itu.
Dalam perkembangannya kemudian, manakala pengetahuan tentang kualitas tanah semakin berkembang, maka tanah liat yang awalnya merupakan satu-satunya bahan keramik itu diolah lagi. Caranya, cukup dengan mencampur tanah liat dengan air. Bagian atas dari olahan tadi disebut tanah lumpur, sedangkan bagian yang mengendap disebut tanah puder/powder.
Umumnya yang memproses tanah powder/puder, tanah lumpur adalah pabrik. Tanah powder memiliki tekstur yang agak kasar. Akan halnya tanah lumpur dianggap bahan baku yang paling bagus karena barang yang dihasilkannya jika diketuk dengan jari akan bersuara lebih nyaring.
Tanah puder dan tanah lumpur memiliki perbedaan. Tanah puder agak kasar sehingga keramik yang dihasilkan dari jenis tanah ini kurang bagus kualitasnya. Ciri-cirinya, bilamana keramik “disentil” dengan jari tangan, keramik tersebut akan menghasilkan suara yang agak berat, seakan-akan mengeluarkan suara “brek”. Ciri tersebut menandakan keramik tadi juga mudah pecah. Tanah lumpur, jenis tanah ini lebih halus dibandingkan dengan tanah puder. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila keramik yang dihasilkan dari tanah ini kualitasnya lebih bagus dan kuat. Perbedaan lainnya dengan tanah puder adalah apabila disentil dengan jari tangan suara yang keluar tidak berat, melainkan lebih ringan, “ngencring” bunyinya. Selain ketiga jenis tanah tadi, ada satu lagi jenis tanah yang biasa digunakan sebagai bahan dasar keramik yaitu tanah empleg.
Keempat jenis tanah tadi, baik tanah liat, tanah puder, tanah lumpur, maupun tanah empleg dipasok dari Desa Citeko. Jadi bukan saja tanah liat yang ada penjualnya, dewasa ini tanah puder, tanah lumpur, dan tanah empleg pun sudah ada penjualnya. Para perajin tidak perlu lagi repot-repot mencari dan mengolah tanah liat sendiri. Tanah dari Desa Citeko inilah yang paling banyak digunakan untuk pembuatan keramik sehingga bisa dikatakan kalau desa ini merupakan pusat pengambilan tanah. Di desa ini banyak terdapat tanah yang digali sedalam 1 - 2 meter hingga menyerupai kolam-kolam yang tergenang air. Tanahnya berwarna coklat muda dan setelah dibakar akan berubah warnanya menjadi merah bata.
Pembelian tanah sebagai bahan dasar, apa pun jenisnya, harus disesuaikan dengan kebutuhan. Tanah liat dibeli para perajin dengan harga per kg. Harganya Rp. 1.200,00 - Rp. 1.250,00 per ton, tak termasuk biaya transpor. Setiap minggu seorang pengrajin/pengusaha keramik membutuhkan sekitar 2 ton.
Perihal jual beli tanah liat memang telah berlangsung lama. Memiliki sawah di Desa Citeko kecamatan Plered, tak ubahnya seperti memiliki gunung yang didalamnya syarat mengandung biji emas dan logam berharga lainnya. Hal tersebut terjadi sejak sejumlah areal sawah di beberapa desa di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta yang sudah puluhan tahun tak pernah ditanami padi maupun palawija. Oleh para pemiliknya, sawah tersebut dijual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan baku para perajin keramik, Pesawahan di kecamatan Plered syarat mengandung kadar tanah liat dan zat perekat. Tanah semacam ini, sangat menunjang kualitas mutu hasil industri kerajinan keramik, yang kini marak digeluti ratusan pengusaha.
Pantaslah tanah sawah dijual karena harga yang ditawarkan cukup menggiurkan. Keuntungannya juga jauh lebih besar dibanding hasil sawah pertanian. Akibat lakunya tanah sawah tersebut, tak heran pemiliknya menjadi “kaya-raya”. Salah seorang informan (Bisri, 48 tahun) mengatakan “Nongkrong enak di rumah, rezeki setiap hari ngocor terus”. Ia adalah salah seorang pemilik sawah di Desa Citeko, yang tiap hari menjual tanah sawahnya ke para pengusaha kerajinan keramik Plered. Sawah milik Bisri seluas setengah hektaran ini, sudah sepuluh tahun terus-menerus digali. Penggalian tanah dilakukan dengan sistem borongan. Setiap hari rata-rata mendapat penghasilan bersih tak kurang dari Rp. 50 ribu.
Informan lainnya (Ahmad Jubaedi, 50 tahun), seorang penduduk Desa Gunung Cupu punya cara lain. Ia tak langsung menjual tanah Sawah miliknya seluas 1,5 hektare yang digali setiap hari oleh para kuli. Hasil galian itu diproses giling dengan menggunakan tenaga mesin giling tanah. Tanah hasil giling yang halus dan lekat itu ternyata sangat membantu proses pembuatan keramik, karena bahan baku tanah sudah siap pakai. Keuntungan dari hasil gali dan giling tanah ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan hanya menjual tanah langsung tanpa digiling.
“Tanah gembur hasil gali harganya murah Rp. 75,00/kg. Jika tanah digiling dan dicampuri zat kimia perekat, per kilo laku dijual seharga Rp. 300,00. “Lumayanlah dari hasil tanah sawah seluas itu rejeki terus mengalir tanpa henti. Kebutuhan rumah tangga tercukupi dan masih bisa menabung,” kata Ahmad Jubaedi yang sekarang sedang mencoba membuka industri kerajinan keramik di rumahnya.
Tanah liat di lahan persawahan Plered memang seakan tak ada habisnya. Berhari-hari digali ternyata tanah sawah takpernah surut membawa rezeki. Selama musimkemarau, permukaan sawah terkikis. Hujan turun sawah tertimpa kiriman lumpur. Berganti kemarau lagi, tanah gembur kembali dan tetap mengandung liat dan lekat. Penggalian tanah tanpa aturan seperti yang dilakukan sejumlah petani di Citeko tak dibenarkan pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Purwakarta. Soalnya, ini berdampak kadar perekatnya musnah. Tanah liat berubah kasar penuh kerikil. Padahal bila dilakukan secara teratur, tanah liat di pesawahan daerah Citeko tak akan habis digali selama 50 tahunan.
“Bagusnya, setelah digali tanami padi selama tiga musim. Kemudian gali kembali agar kualitas tanah liat penuh dengan zat lekatnya,” kata Drs. Md. Arnom, Kasubdin Perindustrian Kabupaten Purwakarta. Karena kualitas lahan tanah di Citeko sudah tercemar akibat penggalian tak teratur itu, maka pihaknya saat ini mencanangkan lahan pesawahan sekira 600 ha di Desa Persawahan kecamatan Sukatani.
Faktor pembelian tanah yang berlebih juga menjadi hal yang sangat diperhitungkan oleh para pengusaha keramik. Kekhawatiran tersebut adalah kondisi tanah liat sisa akan menjadi kering dan otomatis tidak akan dapat digunakan. Upaya yang dilakukan pengusaha keramik dalam mensiasati keringnya tanah liat berlebih tersebut adalah proses daur ulang dengan menggunakan 3 tahap. Pertama tanah liat kering tersebut dimasukkan ke dalam bak khusus untuk menampung tanah liat kering; kedua tanah liat tersebut kemudian dicampur dengan air secukupnya, atau sesuai dengan kekenyalan tanah liat seperti pertama kali membeli; Ketiga, setelah dirasa air yang dituangkan ke dalam bak berisi tanah liat tersebut cukup lalu beberapa pegawai mengaduk-aduk campuran tanah liat kering dan air tersebut dengan cara diinjak-injak. Setelah dirasa adukan merata, tanah liat tersebut kemudian dibentuk bulat-bulat untuk kemudian digunakan kembali sebagai bahan dasar pembuatan keramik.
Meskipun keempat jenis tanah di atas sudah cukup merupakan bahan dasar untuk pembuatan keramik, namun ada perajin yang meramu bahan dasar tadi dengan jenis tanah yang lain. Strategi ini dipergunakan oleh para perajin untuk memperoleh ciri khas jenis tanah yang tidak atau jarang diketahui oleh perajin lainnya. Oleh karena itu, ada trik-trik tertentu yang dilakukan oleh perajin untuk membuat produksinya lebih berkualitas atau menarik dari perajin lain, tentunya selain dari pemberian harga yang lebih miring.
Satu dua orang perajin mencampur bahan dasar keramiknya dengan tanah putih dari Sukabumi. Dahulu, malahan ada yang menggunakan tanah putih dari daerah Blitar Jawa Timur. Akan tetapi demi menghemat biaya angkut, maka tanah yang digunakan sekarang ini cukup dari Desa Citeko saja. Selain tanah putih, ada yang menggunakan campuran bahan dasarnya dengan pasir. Jenis tanah yang menjadi bahan campuran memang tidak mereka rahasiakan, namun seberapa banyak perbandingan antara bahan dasar dengan bahan campurannya tidak tau persis. Tampaknya ini menjadi rahasia mereka. Karena sejatinya, rahasia adalah trik untuk mencuri kelebihan dari perajin lain.
Keramik Plered memiliki bentuk, tekstur, glasir, warna, dan dekorasi khusus yang menunjukkan ciri khas setempat. Warna dan dekorasi merupakan tahap finishing, tahap penyelesaian dari proses pembuatan keramik.Pada tahap ini bahan yang diperlukan adalah bahan untuk pewarnaan dan hiasan. Untuk bahan pewarnaan berupa cairan cat. Warna cat yang pertama-tama diperlukan adalah warna putih yang berfungsi sebagai warna dasar dari tiap olahan keramik yang baru keluar dari tungku. Penggunaan warna dasar ini dimaksudkan agar ketika keramik diwarnai dengan warna-warna yang lain untuk memperoleh hasil pengecatan warna yang rata. Jenis cat yang digunakan bisa cat besi - yang dalam penggunaannya dicampur dengan tiner - atau cat tembok yang dalam penggunaannya dicampur dengan air. Perbedaan dari penggunaan kedua jenis cat ini adalah, warna yang dihasilkan dari keramik yang dicat dengan menggunakan cat besi akan menyerupai barang kuno atau barang antik, sedangkan penggunaan cat tembok dalam proses pewarnaan keramik akan menghasilkan nuansa buram.
Penggunaan cat tergantung dari kuantitas dan pola hias keramik yang dihasilkan tiap perajin. Walaupun demikian, mereka biasanya telah mematok persediaan cat yang dalam kurun waktu 1 minggu berkisar 1 kilogram atau 4 kaleng cat. Teknis pembeliannya berbeda dengan pembelian tanah. Pembelian tanah dapat dilakukan hanya dengan kontak melalui telpon, sedangkan pembelian cat harus datang sendiri. Hal ini dianggap wajar oleh karena dalam sekali pembelian, jumlah cat yang dibeli tidak sebanyak jumlah tanah yang mencapai jumlah ton.
Pada tahap finishing, selain cat, banyak pernak-pernik lain yang dibutuhkan. Sebelum dilakukan pengecatan, ada beberapa benda keramik yang harus melalui tahapan proses tertentu. Sebagai contoh, keramik (yang telah melalui proses pembakaran) yang kondisinya tidak sempurna, ada bagian-bagian tertentu yang retak. Untuk itu, sebelum keramik dicat harus ditambal terlebih dahulu. Bahan untuk menambal retakan keramik adalah dengan semen atau dapat juga dengan tanah liat yang dicampur dengan lem fox. Setelah keramik ditambal baru dilakukan pengecatan. Kemudian juga untuk penggunaan cat dengan merek tertentu, keramik harus dicat dengan cat warna hitam sebagai bahan dasarnya, kemudian diberi aci (tepung tapioka yang diberi air secukupnya hingga terasa mengental), baru dicat dengan warna yang diinginkan. Untuk memberi warna emas, selain bisa digunakan cat warna emas, bisa pula menggunakan kertas prada. Caranya, terlebih dahulu benda keramik diolesi cairan infra baru kemudian ditimpa kertas prada.
Selain bahan-bahan di atas, ada bahan lain yang tidak kalah penting dalam pembuatan keramik. Bahan yang dimaksud adalah bahan bakar tungku atau alat pembakaran. Dahulu bahan bakar hanya berupa kayu bakar. Dua tahun ke depan, minyak tanah mulai digunakan. Namun demikian begitu harga minyak tanah melonjak, penggunaan kayu bakar lebih menjadi pilihan. Perolehan kayu bakar ini tidaklah sulit karena banyak pemasoknya. Pemasok paling banyak adalah dari Pamanukan Subang. Para pemasok kayu bakar menjajakan kayunya dengan menggunakan truk, penjualan dilakukan per-truk. Pagi hari, truk-truk berisi kayu bakar itu sudah berjajar di pinggiraan jalan, mangkal di suatu jalan, atau berlalu-lalang di depan tempat usaha perajin. Seorang perajin mengemukakan kalau dalam 1 minggu memerlukan kira-kira 2 truk kayu bakar atau kalau dalam hitungan hari, 4 hari 1 truk. Konon jenis kayu bakar yang bagus adalah kayu karet, mahoni, jati, dan kayu-kayu keras lainnya. Kayu-kayu tersebut bisa menghantar panas dengan cepat. Kayu karet harganya berkisar 1 juta 1 truk dan secara kualitas lebih bagus dari mahoni.
Bagi orang awam atau bahkan yang tidak awam pun, pernah merasa kecewa setelah membeli kayu bakar. Konon perasaan kecewa itu karena mereka merasa tertipu oleh ulah penjaja kayu bakar yang memasang kayu-kayu bakar dalam ukuran besar di truk bagian atas, sedangkan di bawahnya kayu-kayu dalam ukuran kecil. Oleh karena itu bagi mereka yang pernah mengalami kejadian seperti itu, mereka akan lebih hati-hati, tidak asal membeli, melainkan terlebih dulu melihat atau memeriksa kayu-kayu yang berada di dalam truk.
Keramik Plered merupakan jenis keramik latherware. Karakter desain, bentuk, wama selalu mengikuti tren pasar dunia. Tipe-tipe keramik yang ada adalah
Stonewash terracotta, dengan jenis jenis seperti pas cangkkok, pas payung belimbing, pas kotak, pas murilit, gentong biwir, gentong tinggi, dan pas bande. Traditional terracota, dengan jenis jenis seperti pas gendang daun, gembling, pas payung, pusmink, past, guci antik, botol gepeng, botol antik, selinder, pas batere, standar lampu, goci cangklek, pas gendang, pas/cemara botol, genting/buyung ikan, genting rajut, dan pas “bodong”. Selanjutnya adalah contemporary terracotta, dengan jenis jenisnya seperti pas kuda, torso, ayam, menong, gajah, cangkek kulit, kon celana, vas unik, meja hamburger, dan lain-lain.
Tanah Citeko yang belum diproses, tekstumya kasar dan pecah-pecah. Jadi harus dibuat lebur dulu melalui proses luluh. Jika tak diproses dulu, kualitas benda yang dihasilkan pun tidak bagus. Hal itu dulu diketahui setelah dilakukan studi banding di Yogya. Di sana ternyata banyak orang Purwakarta yang bekerja sebagai pengrajin keramik. Dulu sering mendatangkan gerabah dari Yogya, yang warnanya masih merah alias baru keluar dari biskuit (oven). Kalau kehujanan, temyata banyak menyerap air karena pori-porinya besar. Tanah di Purwakarta (Citeko) tidak begitu hasilnya.
Untuk barang-barang tradisional, yaitu barang-barang pakai yang disebut gerabah, bahan dasamya dari tanah liat saja. Akan halnya untuk barang-barang modem untuk hiasan, komposisi bahan dasarnya ditambah dengan pasir halus/pasir kali atau kaolin atau grot (serbuk batu genting).
2. Alat-alat yang Digunakan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan keramik di Plered bisa dikatakan relatif sederhana. Untuk menyebutkan macam atau jenis alatnya tentu tidak bisa dilepaskan dari teknik pembuatan keramik itu sendiri.
Secara garis besar, teknik pembuatan keramik terbagi tiga yaitu: dibuat dengan tanpa alat (pembentukan bebas dengan tangan); dibuat dengan alat putaran; dan dibuat dengan cetakan. Masing-masing berikut penjelasannya.
Teknik tangan
Pembuatan keramik dengan tangan dapat menghasilkan bentuk-bentuk keramik yang bebas, tidak selalu simetris. Pembuatan keramik dengan menggunakan tangan ini ada tiga cara. Cara pertama: tanah liat mula-mula dibentuk menyerupai cacing lalu dilingkar-lingkarkan hingga membentuk dinding yang mempunyai ruang di dalamnya. Bentuk ini tumbuh ke atas dan dapat menghasilkan bentuk silinder, bola, atau bentuk lainnya. Cara kedua: dinding dibentuk langsung dengan cara memijit-mijit tanah liat sedikit demi sedikit, dibentuk menurut keinginan perajin. Cara ini dapat menghasilkan bentuk keramik yang lebih variatif sehingga biasanya cara ini digunakan untuk membuat keramik seni yang cenderung abstrak bentuknya. Cara ketiga: tanah liat digilas dengan menggunakan penggilas dari kayu atau besi. Dengan digilas, tanah liat menjadi lempeng yang datar dan sama tebal, lalu dipotong dengan menggunakan pisau menurut pola yang dikehendaki. Potongan-potongan tadi lalu dilekatkan satu sama lain sehingga terbentuk dinding. Cara ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk lurus persegi, bujur sangkar, dan segi tiga.
Teknik putaran
Pembuatan keramik dengan teknik putaran dapat menghasilkan bentuk silinder, bola, dan kerucut yang simetris. Tinggi dan ukuran keramik yang dihasilkan sangat bergantung pada kualitas bahan dan keterampilan perajin memutar alat.
Dengan teknik ini, lubang selalu berada di bagian atas sebagai pengakhiran bentuk. Proses pembuatannya, mula-mula tanah liat digemblong lalu dijadikan gumpalan-gumpalan berupa bola. Bola tadi selanjutnya diletakkan tepat di tengah-tengah alat putaran dan dicari titik pusatnya. Untuk melebarkan atau meninggikan tanah liat yang diputar itu bergantung dari keterampilan perajin.
Teknik cetakan
Pembuatan keramik dengan cetakan akan menghasilkan bentuk-bentuk keramik yang sama. Untuk mencetak biasanya digunakan gips. Caranya, mula-mula gips diberi air secukupnya sampai terasa kental. Lalu gips dilekatkan setebal kira-kira 3 sentimeter pada badan/body benda yang akan dicetak dalam keadaan setengah kering. Setelah gips agak mengeras lalu dilepaskan dari body benda dengan membagi gips dalam beberapa potongan atau bagian.
Garis besar pemakaian alat untuk membuat keramik dituangkan dalam bentuk peralatan yang memang sangat dibutuhkan, dan itupun tidak menggunakan jenis peralatan dengan menggunakan teknologi tinggi.
a. Perbot/Pelarikan
Perbot/Pelarikan, yaitu meja putar berbentuk bundar pipih, terbuat dari batu dengan bergaris tengah 30 - 40 cm. Perbot ini dapat berputar karena menggunakan lager, yaitu alat pemutar yang biasa digunakan untuk mesin. Perbot diputar dengan tangan oleh pengrajinnya dengan sikap berjongkok, sehingga tinggi alat ini sekitar 20 - 25 cm. Dengan satu kali putaran tangan pada perbot, bentuk keramik yang direncanakan harus terbuat. Jadi putaran tidak boleh terputus-putus
Gambar 1
Seorang pekerja tengah memperhalus keramik dengan mempergunakan perbot
Perbot terbuat dari batu cadas, yang dibuat sedemikian rupa dengan tatah dan palu besi. Kemudian batu cadas yang telah dibentuk bundar tertapi belum dihaluskan ini disebut buter. Batu cadas sendiri diambil dari perbukitan yang ada di sekitar Desa Anjun. Buter kemudian dihaluskan dengan teliti dan hati-hati, dengan menggunakan alat-alat ukur (jangka), tatah, palu, linggis.
Kini perbot bisa dibeli di daerah Bandung. Jika pemeliharaannya baik, setiap perbot bisa tahan hingga 20 tahun lamanya. Dalam setiap perusahaan, biasanya karyawan yang bekerja menggunakan perbot bisa mencapai 5 orang. Merekalah yang secara rutin setiap satu bulan sekali memoleskan stempet pada lager perbot sebagai upaya pemeliharaan.
b. Serat
Serat, yaitu sebuah kawat kecil dengan panjang 40-50 cm dan kedua ujungnya diberi pegangan. Serat berfungsi untuk menghaluskan tanah liat hasil proses percampuran dengan tanah hitam dan pasir. Serat dipakai untuk ngesrik dan melepaskan dasar benda yang telah dibentuk di atas perbot. Ngesrik adalah memeriksa campuran tanah liat dari batu-batu kerikil. Adapun caranya adalah dengan memotong selapis demi selapis setebal 1 cm tanah liat campuran dengan serat.
c. Dalim
Dalim adalah alat untuk menghaluskan. Bahannya terbuat dari secarik kain (10 - 12 cm persegi), digunakan untuk membasuhi tanah liat yang sedang dibentuk agar menjadi lembab dan mudah dibentuk sesuai dengan model dasar bentuk yang direncanakan.
d. Babasah
Babasah adalah air yang ditempatkan pada pasu untuk membasahi dalim, mencuci tangan, atau mencuci alat-alat.
e. Cawi atau emal
Cawi
Cawi atau emal terbuat dari bambu. Cawi, ada yang berbentuk segi empat persegi panjang (3 X 10 cm), satu sisi agak tajam seperti pisau, sisi lain agak lebih panjang dan ujungnya berbentuk runcing. Ada pula cawi yang berbentuk lingkaran kecil (bergaris tengah 10 cm) terbuat dari bambu pipih. Gunanya untuk menghaluskan bagian dasar dari benda yang sudah dibentuk atau memperbaiki lengkungan benda¬-benda yang dibuat sesuai rencana.
Emal
Adapun emal digunakan untuk membentuk lengkungan-lengkungan dengan model yang diinginkan. Caranya yaitu pada saat perbot diputar, tangan kanan memegang emal pada posisi tertentu dan tangan kiri mendorong bagian dalam benda model, sehingga membentuk persis sama dengan benda yang diinginkan.
f. Alat pengukur seperti penggaris
Alat pengukur seperti penggaris, gunanya untuk mengukur. Kadang lidi pun bisa dijadikan alat untuk mengukur. Satu buah alat pengukur dapat digunakan 5 hingga 8 orang.
g. perecet
Untuk membuat motif bunga selain menggunakan alat khusus, bisa juga digunakan “perecet", yaitu alat sederhana dengan menggunakan plastik. Tanah liat dibungkus plastik dan dibentuk kerucut, ujung kerucut dilubangi. Tekniknya sama seperti orang menghias kue tart. Pangkal bungkusan plastik dipegang dengan tangan kanan, sekaligus menekan plastik agar tanah liat keluar dari lubang kerucut. Pengrajin tinggal membuat hiasan yang dikehendakinya, sesuai dengan rancangan hiasan yang akan dibuat. Selain itu pisau, sikat gigi, sisir bekas, pecahan plastik, kuas kecil atau ujung jari dapat digunakan untuk membuat atau menyempumakan motif.
h. Jegger
Jegger adalah alat putar seperti perbot, tetapi mempunyai as/sumbu yang tinggi, sehingga pengrajin dapat duduk dengan posisi yang lebih tinggi ketika membuat sesuatu. Alat tersebut diputar dengan gerakan kaki, sehingga dapat dijalankan terus menerus dan kedua tangan dapat terus menerus pula membentuk benda yang diinginkan.
Gambar 2
Pekerja sedang memperagakan cara mempergunakan Jegger
i. Citakan
Citakan, yaitu alat untuk membuat suatu bentuk sesuai dengan pola tertentu, terbuat dari gips. Caranya adalah dengan menempelkan tanah liat pada tepian cetakan gips, sehingga mencapai ketebalan tertentu. Selanjutnya bentukan dikeluarkan dan dikeringkan dengan diangin-anginkan.
j. Papan
Papan, tempat meletakkan barang-barang yang telah selesai dibuat untuk diangin¬anginkan atau dijemur.
k. Pangorek
Pangorek, sejenis pisau untuk membuat ragam hias dengan cara melubangi atau menggaris keramik yang sudah setengah kering. Ada beberapa macam jenis pangorek yang digunakan sesuai fungsi dan keinginan pembuat dalam mengerjakan variasi hiasan pada keramik. Berikut di bawah ini adalah sketsa beberapa jenis pangorek yang ada di Desa Anjun.
Pangorek 1
Pangorek 2
Pangorek 3
Pangorek 4
l. Rak
Rak, untuk meletakkan barang yang telah jadi, baik yang telah kering maupun yang masih basah untuk diangin-anginkan.
m. Besut
Besut, alat untuk lebih menghaluskan permukaan keramik, terbuat dari karet atau kulit halus.
n. Salampak
Salampak, alat yang terbuat dari kayu untuk mencetak tebal tanah agar rata, jika dibentuk dengan cetakan.
o. Kain dan bambu
Kain dalam hal ini adalah sembarang lembaran kain, tidak perlu baru, ukuran besar lembarannya pun bebas, bergantung kebutuhan. Kain ini digunakan untuk merapikan keramik. Setelah dirapikan dengan kain, masih dirapikan lagi dengan sebilah bambu, dan terakhir dirapikan lagi dengan kain yang terlebih dulu dicelupkan ke air. Tahap yang terakhir ini untuk menghaluskan keramik.
p. Plastik
Dekorasi atau hiasan keramik ada dua macam, yang timbul dan tidak timbul. Hiasan yang timbul, misalnya motif bunga timbul, dibuat dengan cara memasukkan tanah ke dalam plastik lalu disemprotkan pada keramik yang akan dihias. Semacam membuat kue semprit. Dalam membuat motif timbul, motif bunga misalnya, harus memperhatikan betul-betul suhu pembakaran dan kualitas tanahnya. Suhu pembakaran yang rendah dan kualitas tanah yang kurang bagus dapat menyebabkan keramik rentan terhadap gesekan sedikit saja dan akan mudah lecet. Hiasan yang tidak timbul dibuat dengan menggunakan torehan atau guratan mata pisau ke badan keramik.
q. Kuas
Kuas digunakan untuk mengecat badan keramik. Ukurannya relatif, bergantung kebutuhan. Pola ukir yang mirip garis diperoleh dengan menggunakan kuas berukuran kecil, dan sebaliknya apabila polesan dibalurkan pada bidang yang cukup luas. Pengadaannya dengan membeli dengan tanpa berbatas waktu dan jumlah, bergantung kebutuhan.
r. Tungku pembakaran (oven)
Tungku pembakaran (oven), tempat untuk membakar barang-barang yang telah kering atau selesai diglasir. Tungku terbuat dari tembok bata dengan ukuran bermacam macam, bergantung pada keadaan tempat tungku tersebut dibuat.
Berdasarkan bentuk dan fungsinya, tungku dibagi tiga macam
1. Tungku bak, seperti bak agak rendah dan lebar, bagian atas terbuka, digunakan untuk membakar keramik yang tidak diglasir dengan suhu 600° - 700° C. Bahan bakar yang digunakan adalah kayu bakar.
Gambar 3
Tungku Bak
2. Tungku botol, berbentuk tinggi ramping, di bagian atas ada cerobong berbentuk seperti botol, digunakan untuk membakar keramik yang berglasir dengan suhu 800° - 900° C. Bahan bakarnya adalah kayu bakar dicampur minyak tanah.
3. Tungku ring, berbentuk tinggi ramping dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah yang disimpan dalam drum. Minyak tanah dialirkan melalui pipa besi ke tungku, dan diatur dengan keran. Suhunya dapat mencapai 800° - 900°C.
Daerah Ajun memiliki ahli pembuat tungku sendiri. Lamanya membuat tungku bergantung pada besar kecilnya tungku yang akan dibuat. Tungku yang paling kecil berukuran 1,5 X 1 m, dan yang paling besar berukuran 3 X 3 m. Tungku bisa awet hingga 15 tahun, sebaliknya ada pula yang 2 sampai 3 tahun saja tungku sudah rubuh. Tungku yang retak bisa ditambal. Salah satu pemeliharaan sederhana sebuah tungku adalah dengan cara membuang abunya secara rutin.
Sistem pembakaran menggunakan kayu bakar dan minyak tanah ini, setelah keduanya diperbandingkan temyata menggunakan minyak tanah dirasakan lebih mahal biayanya. Kayu bakar banyak dipasok dari Subang, Pamanukan, dan Banten. Biasanya dibutuhkan sekitar 2 ton kayuu bakar per minggu oleh sebuah perusahaan. Cara mereka mendapatkan kayu bakar tersebut cukup dengan menyetop pemasok kayu bakar, yang setiap pagi telah berkeliling ke wilayah mereka. Masing-masing perusahaan sudah memiliki pemasok langganannya sendiri. Kayu bakar yang digunakan berjenis kayu keras, seperti mahoni, karet, jati. Jenis kayu ini berpengaruh banyak pada sistem pembakaran, dalam arti pemanasannya bisa lebih cepat. Kayu karet harganya sekitar Rp. 100,00 per ton, cukup untuk keperluan bahan bakar selama 4 hari. Kayu mahoni harganya di bawah kayu karet.
Setelah keramik mentah dimasukkan semua ke dalam tungku, pintu tungku kemudian ditutup dengan bata dan mempergunakan perekat dari abu dan gabah, baru kemudian dilapisi semen agar tutup bata dapat mudah dibongkar kembali nantinya.
3. Proses/Tahap Pembuatan Keramik
Bahwasanya keramik sekarang ini ada dua jenis, tradisional dan modern. Keramik tradisional adalah keramik pakai, barang-barang pakai, seperti: pot, coet dan sebagainya. Keramik modern cenderung benda keramik yang memiliki nilai seni tinggi dan bahkan kalaupun ada kegunaannya sering menjadi terlupakan oleh karena nilai seninya yang lebih menonjol. keramik tradisional menggunakan bahan hanya tanah liat saja tidak masalah, sedangkan untuk keramik modern membutuhkan campuran antara tanah liat/lumpur/puder/empleg, pasir, serbuk batu, dan genteng. Kemungkinan adanya campuran bahan lain cukup besar mengingat adanya persaingan dalam mutu dan ketahanan keramik di antara pengrajin. Dengan kata lain, ada bahan “X” yang menjadi trade mark dan khas dari keramik buatan si pengrajin.
Adapun cara membuat keramik secara tradisional dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu proses sebelum membentuk suatu benda, proses membentuk benda, dan proses pembakaran.
a. Proses sebelum membentuk benda
Proses sebelum membentuk benda melalui beberapa tahap, yaitu : ngaluluh, ngesrik, ngeplok. Ngaluluh adalah proses membersihkan tanah liat dari kotoran-kotoran atau batu-batuan, kemudian dicampur dengan pasir dan tanah kenteng. Ngaluluh dilakukan¬ dengan cara menginjak-injak tanah liat tersebut, hingga disebut ulet. Ulet kemudian dibiarkan selama 12 jam dengan cara ditutup kertas semen atau plastik agar tidak terlalu kering.
Gambar 4
Bongkahan hasil ngaluluh yang ditaruh dalam plastik
Saat ini proses ngaluluh pada pengusaha keramik dengan omzet penjualan skala besar sudah digantikan dengan mesin pencampur. Kerja mesin ini dapat menghemat waktu dan tenaga, serta hasil kerja yang lebih banyak.
Gambar 5
Sebuah mesin ngaluluh yang dimiliki salah seorang pengrajin keramik
Ngesrik, yaitu proses membuang batu-batu kecil yang terdapat pada ulet dengan cara menggunakan serat, tanah diiris selapis demi selapis. Dengan cara ini ulet diperiksa secara teliti dan jika ada kerikil dapat dipisahkan.
Ngeplok adalah membuat bulatan-bulatan ulet yang sudah dibersihkan dengan ukuran yang sama, dengan cara menggulung segumpal tanah liat dalam genggaman, tanpa ditimbang, lebih berdasar pada perasaan saja. Bulatan-bulatan ulet ini disebut keplok. Bulatan-bulatan tersebut menandakan satuan keramik yang hendak dibentuk.
Gambar 6
Keplok yang tengah dijemur
Mengingat banyaknya keplok sebagai bahan yang siap dibentuk, agar tidak tertumpuk-tumpuk dan terekat kembali, keplok dijemur di bawah sinar matahari. Apabila hendak dibentuk, keplok diberi air secukupnya untuk memudahkan proses pembentukan.
b. Proses membentuk keramik
Terdapat beberapa tahap dalam proses membentuk keramik, yaitu; Ngaleler, yaitu suatu proses membentuk benda-benda yang mempergunakan dasar bentuk bulat, dengan cara keplokan diletakkan di tengah perbot, lalu ditekan dengan dalim yang telah dibasahi, lalu ditarik ke atas. Alat cawi dan emal pun pada saat itu digunakan.
Nyitak, yaitu proses membentuk benda-benda yang tidak mempunyai dasar bulat. Caranya, dengan jalan menempelkan tanah liat pada gips yang telah mempunyai bentuk dasar yang diinginkan. Membuat benda-benda modem untuk hiasan, biasanya menggunakan cetakan dengan cara presan dan casting (coran) Ngalimit, yaitu proses meratakan bagian-bagian sambungan.
Nyangkiran (menghias), yaitu menghias benda sesuai dengan bentuk yang direncanakan, dengan menggunakan berbagai macam alat sederhana seperti "perecet", sikat gigi, sisir bekas, pecahan plastik, pisau. Ngeder, yaitu menganginkan atau menjemur benda yang sudah terbentuk. Benda yang sudah kering disebut atahan (mentah). Barang atahan bisa dijemur tiga hingga empat hari lamanya.
Jenis cetakan membentuk semacam ukiran tertentu dengan berbagai macam bentuk. Klasifikasi bentuk keramik berdasarkan ukiran terbagai dalam beberapa teknik kerawang, yaitu:
- Teknik Krawang 1, yaitu menghias dengan memasukkan unsur ruang dengan cara melobangi pada gerabah yang memiliki bentuk dasar silindris atau bulat. Bentuk dasar gerabah dibuat dengan bantuan alat putar (perbot).
- Teknik Krawang 2 yaitu menghias dengan memasukkan unsur ruang dengan cara melobangi pada gerabah yang memiliki gabungan bentuk dasar kubus atau persegi panjang. Gerabah bentuk dasar persegi panjang dibuat dengan teknik lempengan, proses teknik ini dilakukan dengan cara mengepres lempeng pada cetakan sehingga tercetak beberapa lempengan dengan ketebalan tertentu (5-10 mm) atau format tertentu. Lempengan-lempengan ini kemudian disusun atau disambung sehingga membentuk kubus atau persegi panjang.
- Teknik Krawang 3, yaitu menghias dengan memasukkan unsur ruang dengan cara melobangi pada gerabah yang memiliki gabungan bentuk dasar silindris dan tambahan tempelan bentuk bebas.
- Teknik Krawang 4, yaitu menghias dengan memasukkan unsur ruang dengan cara melobangi pada gerabah yang memiliki gabungan bentuk dasar silindris tetapi tanpa bantuan perbot. Lubang membentuk kesan tembus pandang dan berongga.
Proses pembakaran barang-barang dapat dilakukan dengan cara:
• Barang-barang yang dalam prosesnya diglasir (dicelup) dulu baru dibakar.
• Barang-barang yang dibakar terlebih dahulu sebelum diglasir, kemudian dibakar lagi setelah diglasir.
• Barang-barang atahan yang setelah dibakar tidak diglasir tetapi diwarnai dengan cat.
Cara pembakaran secara tradisional adalah barang-barang atahan disusun sedemikian rupa dalam tungku pembakaran hingga memenuhi seluruh ruangan dan agar pada proses pembakaran tak mengalami kerusakan atau pecah.
Gambar 7
Pekerja sedang menyusun keramik dalam tungku pembakaran
Beberapa kecelakaan kecil, yaitu keramik yang pecah saat penyusunan ke dalam tungku, tidak dibuang begitu saja. Pecahan keramik tersebut dikumpulkan kembali, diayak, dan dicampur dengan semen sebagai bahan dasar untuk menutup lubang tungku saat susunan keramik atahan telah siap.
Setelah seluruh rongga tungku penuh dengan susunan keramik mentah, pekerja menutup lubang atau pintu tungku dengan cara ditembok dengan bata dan semen. Penutupan lubang tungku secara rapat tersebut bertujuan agar pada saat pembakaran, panas yang dihasilkan tungku saat pembakaran tetap stabil. Selain itu, udara panas dari tungku tidak menebar ke seluruh ruang produksi, yang tentunya akan mengganggu kinerja para pekerja.
Gambar 8 dan 9
Pekerja sedang menutup lubang tungku dengan batu bata dan campuran tanah liat (gambar 8). Lubang tungku yang telah ditutup dan diberi lubang kecil (gambar 9)
Kayu bakar yang telah disusun di bawah tungku mulai dibakar. Awalnya api tidak dibesarkan, hanya untuk pemanasan. Hal itu bisa dilihat dari asap putih yang keluar (temperatur lebih kurang 50° C). Setelah asap putih hilang, baru api diperbesar hingga wama api dalam tungku membara (temperatur lebih kurang 600°C). Mereka menghitung temperatur tidak dengan alat ukur, tetapi berdasarkan pengalaman, perasaan, atau perkiraan.
Biasanya pembakaran berlangsung berkisar antara 9, 12, dan 24 jam, hingga api padam sendiri dan temperatur turun secara perlahan. Ketika mencapai suhu terendah, baru penutup lubang tungku dibongkar untuk mengeluarkan gerabah (barang atahan yang telah dibakar). Pembakaran yang berlangsung selama 24 jam dapat menghasilkan kualitas barang yang paling bagus. Selain itu, barang atahan yang dibakar di tungku bagian bawah (dekat api), kadang-kadang hasilnya lebih bagus dibandingkan dengan barang atahan yang berada di bagian atas.
Gambar 10
Keramik atahan sedang dijemur
Tungku yang ada di setiap unit usaha keramik terkadang hanya mampu untuk membakar sejumlah kecil keramik. Sementara keramik cetak mentah lainnya menunggu giliran untuk dibakar. Selama masa menunggu giliran, keramik cetak yang masih mentah dijemur terlebih dahulu.
Setelah dirasa cukup kering, dan masih menunggu keramik lainnya yang sedang mengalami proses pembakaran, keramik cetak mentah tersebut disusun baik di lantai maupun di plafon pabrik. Susunan dibuat sedemikian rupa agar keramik tidak pecah, sekaligus berfungsi sebagai bagian dari proses pengeringan melalui udara yang mengalir melalui rongga-rongga susunan keramik tersebut.
Gambar 11
Pekerja menaruh keramik atahan yang telah dijemur di ruang penyimpanan yang berada tidak jauh dari tungku
Tahap setelah proses pembakaran adalah tahap finishing. Keramik telah dibakar dan tidak diglasir kemudian dipoles menggunakan cat dan tiner . Biasanya dulu menggunakan cat tembok merek “Avian”. Perkembangan selanjutnya, orang-orang beralih menggunakan cat merek Suzukan, baik cat tembok maupun cat besi. Cat tembok jika kena air jadi mudah kusam, tetapi dengan cat besi bisa lebih tahan lama. Harga cat dewasa ini sekitar Rp. 1750,00 - Rp. 2000,00 per galon isi 25 kg. Pemesanan cat tinggal menghubungi toko langganan melalui telepon. Biasanya cat warna hitam digunakan sebagai warna dasar.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, terlebih dahulu gerabah diaci baru kemudian dicat warna hitam. Selanjutnya finishing digunakan wama yang sesuai dengan corak benda yang direncanakan. Bahan dasar ditambah dengan kaolin, harganya akan terhitung mahal.
Dalam pemilihan motif dan finishing, orang-orang asing dari negara Malaysia lebih menyukai motif bunga dan pohon; orang Filipina menyukai motif binatang, dan orang Australia menyukai warna-warna buram, gelap, tanpa motif.
Benda-benda hiasan seperti pas koran, ada yang menggunakan pewama engo, yang prosesnya tampak lebih alami. Kemudian dibuat anti gores dengan menggunakan MAA, yaitu bahan untuk mengkilapkan lantai. Caranya digosok terus menerus dengan menggunakan kain atau sikat. Dalam sehari pengrajin dapat menggosok 50 buah pas koran anti gores. Akan halnya jika dipoles dengan pernis, dalam sehari dapat menyelesaikan 150 buah pas koran.
Gambar 12 dan 13
Salah satu pola hias keramik dengan menggunakan MAA (gambar 9)
Pembuatan sebuah pot dapat melibatkan 6 orang pekerja, dengan pembagian pekerjaan yang membentuk, yang memberi motif, yang menjemur, yang memasukkan dan merapikan ke dalam tungku, dan yang membakar.
Beberapa keramik yang telah dibakar tentu mengalami pemanasan yang kadang berbeda sehingga mengakibatkan beberapa keramik mengalami retak-retak. Oleh karena itu, keramik yang telah dibakar harus disortir dahulu. Keramik yang retak dipisahkan dengan keramik yang tidak retak. Apabila keretakan tidak begitu parah, pekerja menutupi retakan demi retakan biasanya dengan mempergunakan lem – biasanya merek – fox.
Gambar 14
Keramik dengan keretakan tidak terlalu parah diperbaiki dengan menggunakan lem fox
Proses menambal keretakan yang tidak terlalu parah dipergunakan pengarajin mengingat persentase keretakan yang sekecil apapun selalu diperhatikan oleh para pembeli, apalagi pembeli dari luar negeri. Para pembeli biasanya memilih keramik atau gerabah dengan memperhatikan:
• keretakan atau perubahan bentuk gerabah.
• Mengetes suara kenyaringan gerabah dengan jari, yang bersuara nyaring adalah yang baik.
• Meraba permukaan gerabah, halus atau kasar.
Sementara itu kualitas keramik juga memiliki ciri-ciri tertentu. Saat ini di pasaran terdapat berbagai merek keramik. Standar kualitas keramik dari berbagai merek biasanya tertera dalam label dengan sebutan jenis keramik KW 1, KW 2, KW 3 atau KW 4. Jenis keramik kualitas KW 1 diartikan bahwa keramik tersebut tergolong sangat bagus. Tingkatan selanjutnya, yaitu dengan kode KW 2 hingga KW 4 adalah keramik yang kualitasnya terus menurun. Biasanya, ditandai dengan ukuran yang tidak pas, warna yang kurang bagus, atau pola dan corak yang kurang baik.
4. Bentuk dan Unsur Simbolik Keramik
Istilah bentuk dapat diartikan sebagai wujud, merupakan bagian-bagian yang dapat dilihat. Bentuk adalah bagan yang tertanggapi sebagai ungkapan pengalaman batin penciptanya.
Karya keramik terbagi atas keramik pakai dan keramik seni. Keramik pakai adalah benda-benda keramik yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, biasanya berupa barang-barang keperluan rumah tangga. Meskipun merupakan keramik pakai, akan tetapi kerapkali bentuknya mengandung unsur-unsur nilai estetik. Adapun keramik seni adalah keramik yang unsur-unsur nilai seninya lebih ditonjolkan ketimbang nilai fungsi atau kegunaannya. Kerapkali keramik seni ini malahan tidak menunjukkan nilai kegunaannya samasekali. Sebagai contoh adalah patung keramik atau benda hias lainnya.
Ketimbang keramik seni, Plered mendominasi produksinya dengan keramik pakai. Fenomena ini bukan tanpa alasan, akan tetapi memiliki benang merah dengan sejarah awal lahirnya keramik di Plered. Bahwasanya pada jamannya, kegiatan pembuatan benda-benda keramik di pedesaan di Plered merupakan usaha subsisten, usaha untuk memenuhi kebutuhan akan alat-alat rumah tangga di lingkungan sendiri. Seiring berjalannya waktu, mereka meluaskan kegiatannya untuk keperluan pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Dari sisi negatif bisa jadi orang memandang bahwa masyarakat Plered statis, sehingga hanya membuat alat-alat rumah tangga saja, sepertinya benda-benda yang sudah ada dianggapnya sudah cukup, tidak ada kebutuhan lebih dari itu. Sebaliknya dari sisi positif bisa dipandang bahwa Plered menyengaja agar produksi keramiknya memiliki kekhasan, khas keramik pakai.
Bentuk keramik pakai jelas berupa barang kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti gentong, kendi, vas, pot, teko, cangkir, anglo, celengan dan sebagainya. Karena merupakan barang kebutuhan rumah tangga sehari-hari, tidak heran kalau bentuknya mengacu atau menggunakan referensi dari obyek yang mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dari bentuk keramiknya yang keseharian itu kemudian keramik Plered dicap sebagai keramik rakyat. Bentuk-bentuk keramik itu untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
a. Bentuk celengan
Celengan merupakan salah satu jenis keramik Plered yang telah berhasil merebut popularitas di kalangan masyarakat Jawa Barat, dan masyarakat Banten sekarang. Tujuan yang paling prinsipil dari bentuk ini adalah tempat untuk menabung atau menyimpan uang. Celengan ini dibentuk sedemikian rupa sehingga selain memiliki nilai kegunaan juga memiliki nilai keindahan. Bahkan untuk bentuk-bentuk tertentu, keindahan bentuknya bisa melupakan nilai kegunaannya itu sendiri. Tidak jarang kemudian orang membeli celengan indah itu bukan untuk menabung akan tetapi ditempatkan sebagai benda hias. Bentuk ini merupakan hasil pelepasan dari ikatan bentuk fungsional yang tetap dari jaman ke jaman. Bentuk celengan yang dimaksud adalah celengan dalam bentuk binatang, wayang, dan buah-buahan.
Celengan berbentuk binatang, bentuk yang paling banyak dibuat adalah bentuk yang dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Plered sehari-hari seperti: biri-biri, ayam, ikan, bebek, katak, kelinci, dan sapi. Bahkan ketika dulu masih banyak ditemukan babi, celengan dalam bentuk babi juga dibuat. Selain melihat dari obyek keseharian, ada obyek bentuk binatang yang mereka ambil dari melihat gambar majalah, film dan sebagainya hingga kemudian tercipta celengan dalam bentuk banteng, gajah, harimau dan sebagainya. Bentuk-bentuk binatang ini dibuat dalam bermacam-macam sikap. Di dalam cara meniru bentuk-bentuk itu, anatomi dari tubuh binatang dan ekspresi yang mengesankan seram dan sebagainya mereka gambarkan dengan jelas, misalnya otot-otot dari tubuh dan wajah harimau. Bentuk dari binatang ini sangat ekspresif yang menunjukkan kemampuan dari para perajin dalam merepresentasikan bentuk binatang yang sebenarnya ke dalam karya keramik mereka.
b. Bentuk wayang
Bentuk ini dibuat berdasarkan obyek yang mereka ambil dari pertunjukan wayang golek. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat pedesaan di Plered sangat menggemari pertunjukan ini. Adapun tokoh-tokoh wayang yang banyak dibuat adalah: tokoh Gatotkaca yang melambangkan kegagahan dan keberanian, Arjuna lambang kesetiaan, Semar merupakan tokoh yang sederhana, Bima tokoh kebenaran dan keadilan, dan Dharma Kusumah lambang keadilan, kesabaran, dan kebijaksanaan. Sikap, pakaian, dan ciri-ciri khas setiap tokoh ditonjolkan dengan bantuan bahan-bahan seperti cat warna emas, cat warna perak dan sebagainya. Di antara beberapa tokoh pewayangan yang telah disebutkan tadi, celengan berbentuk semar sebenarnya yang paling tepat sebagai tempat untuk menabung. Bentuknya yang bulat memberikan kemungkinan menyimpan uang lebih leluasa.
Gambar 15
Wujud keramik yang menyerupai salah satu tokoh wayang
c. Bentuk buah-buahan
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sedikit dijumpai jika dibandingkan dengan bentuk binatang dan wayang. Bentuk buah yang dibuat yang pernah dijumpai adalah bentuk buah paria, jeruk, dan pepaya.
d. Bentuk benda pakai
Gambar 16
Salah satu bentuk jadi keramik yang dapat difungsikan menjadi alat pakai
Bentuk ini merupakan barang-barang keperluan rumah tangga. Bentuk-bentuknya tidak banyak mengalami perubahan, bahkan boleh dikatakan masih merupakan bentuk yang tradisional. Sebagai contoh adalah bentuk kendi dan gentong. Kedua bentuk ini dikerjakan secara turun temurun dan berfungsi sebagai tempat menyimpan air. Di samping bentuk tadi, ada lagi bentuk jembangan yang dalam perkembangannya banyak mengalami perubahan, misalnya dari bentuk yang disebut pot kartes beralih ke bentuk pot gentong, pot buyung, pot Jepang, pot ember dan sebagainya. Seiring pesatnya pembangunan perumahan, keramik dalam bentuk pot terus melejit pemasarannya dan mencapai puncaknya di tahun 2006 khususnya permintaan untuk Kota Bekasi, Magelang, dan Jogja.
e. Bentuk hiasan
Gambar 17
Bentuk keramik yang menyerupai hamburger
Bentuk ini merupakan benda pakai berupa hiasan meja dan hiasan dinding. Obyek-obyek bentuk hiasan dinding dibuat dengan meniru dari obyek yang terlihat menarik dan mengundang minat pembeli seperti bentuk payung, burung, ikan, bunga dan sebagainya. Sementara itu, pola hias keramik bentuk meja agak lambat dalam inovasi bentuk dan hiasan sehingga bentuknya terlihat lebih sederhana, kadang-kadang hanya merupakan variasi bentuk bola dan silinder.
Setiap bentuk keramik tidak selalu dianggap selesai begitu saja. Untuk menarik peminat keramik, ada beberapa bentuk keramik yang diberi dekorasi. Dekorasi ini bisa keluar dari bentuk itu sendiri, dari tekstur, maupun dari glasir. Sifat dekorasi, termasuk warna dari keramik Plered semata-mata adalah untuk hiasan, dan bukan menyatakan sesuatu secara simbolis seperti halnya benda-benda magis. Semata-mata bertujuan memperindah benda atau untuk menyempurnakan bentuk yang tidak bisa tercapai secara maksimal. Misalnya keramik yang berbentuk menyerupai seekor kucing.
Gambar 18
Bentuk keramik yang menyerupai seekor kucing
Bentuk ini belum menyatakan apa-apa sebelum diberi dekorasi dengan cat. Penambahan warna cat pada bentuk kucing hingga terlihat lebih menarik. Bentuk binatang seperti burung, bebek, ayam, akan didekorasi untuk memperoleh kesan berbulu, bersayap, berekor, berparuh dan sebagainya.
Hal ini dilakukan dengan sapuan-sapuan kuas dengan warna-warna cat yang kira-kira sesuai. Berbeda dekorasi pada bentuk binatang, dekorasi pada bentuk jembangan mempergunakan bahan engobe merah, hitam, hijau, biru dengan motif tumbuh-tumbuhan berupa bunga, daun, juga motif garis lengkung yang diterapkan dengan sapuan kuas pada badan benda sewaktu benda masih basah.
Motif-motif dekorasi diciptakan oleh perajin dengan berbagai cara. Ada dari hasil pemikirannya sendiri, referensi dari gambar-gambar majalah, ada pula hasil studi banding dengan keramik dari dari daerah lain. Seorang perajin menuturkan, ia melakukan studi banding bukan saja ke kawasan perajin keramik di Kota Jogja, namun juga kawasan perajin keramik di Nusa Tenggara Barat, dan beberapa daerah lain. Di Jogja ia menjalin kerja sama dengan beberapa mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) untuk berkonsultasi masalah desain. Selain dengan observasi, ada beberapa keramik yang juga dibelinya untuk dipelajari, terutama untuk masalah dekorasinya. Dikatakannya bahwa motif dekorasi tidak pernah melihat waktu, namun perajin harus punya strategi. Salah satu caranya bilamana motif ciptaannya sudah ditiru oleh perajin lain, maka ia harus bersiap-siap mengeluarkan motif baru. Oleh karena keramik Plered ini untuk beberapa produknya sudah merambah ke manca negara, maka motif yang diciptakan untuk kebutuhan ekspor harus disesuaikan dengan selera pasar manca negara. Untuk ke Malaysia misalnya, motif yang disukai adalah motif bunga, untuk ke Cina motif ular naga dan sebagainya. Warna biasanya bergantung motif, meskipun demikian selera lebih ke warna-warna buram yang mengesankan warna antik, barang antik.
Ragam bentuk keramik yang terpapar di atas menandakan betapa kreatifitas pengusaha keramik plered berusaha keras untuk mampu memenuhi selera pasar baik di tingkat nasional maupun internasional. Proses pemenuhan berlangsung dengan cara meniru atau mengikuti begitu saja apa kata konsumen. Walaupun ada beberapa yang dapat mengerti dan memaknakan apa yang terkandung dalam ragam hias yang tertera dalam setiap keramik produksinya. Saat ini memang telah terjadi fenomena sosial para perajin, tidak hanya di Plered saja, kurang memahami nilai-nilai dan makna simbolis yang terkandung di dalam karya yang dibuatnya. Banyak diantaranya hanya sekadar membuat artifak untuk mencari nafkah belaka.
Menurut Triguna (Triguna, 1997; 65) secara etimologis kata “simbol” berasal dari kata kerja Yunani yaitu sumballo (sumballien), artinya berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu melemparkan jadi satu atau menyatukan.
Simbol merupakan pernyataan dua hal yang disatukan. Dilihat dari pengertian dimensi, simbol dibedakan antara simbol yang bersifat imanen-horizontal dengan transenden-vertikal. Simbol juga berkaitan dengan unsur imanensi apabila yang disatukan adalah apa ’yang ada’ dalam diri manusia, jika hal itu diperluas menjadi hal-hal yang hanya terbatas dalam dimensi ’horisontal’ saja.
Selain itu, simbol juga berfungsi ganda, yaitu penerapan pengertian suatu objek pengamatan berdasarkan sisi inderawi dan sisi di luar inderawi. Bagi yang kedua, yang pertama adalah simbolnya, dan yang kedua menyiratkan adanya relasi dengan yang transenden. Oleh karena itu simbol mempunyai peringkat-peringkatnya seperti yang paling hakiki adalah simbol konstruksi karena berkaitan dengan hal transenden diikuti simbol evaluasi dan simbol kognisi. Peringkat terakhir adalah simbol ekspresi yang berkaitan dengan hal-hal imanen, terutama yang menyangkut karya seni.
Simbol konstruksi berbentuk kepercayaan, dan merupakan inti dari agama, simbol evaluasi berupa penilai moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan. Simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia dalam kaitannya dengan pemahaman lingkungannya dan simbol ekspresi berupa karya seni. Setiap perubahan pada simbol ekspresi tidak dengan sendirinya diikuti oleh simbol konstruksi. Tetapi sebaliknya, akan terjadi penafsiran kembali pada simbol yang lain apabila terjadi perubahan pada simbol konstruksi. Karena simbol konstruksi merupakan pedoman pokok, dan sebagai sumber atau tatanan bagi simbol lain terutama simbol ekspresi. Lambang atau simbol memiliki expressions and contents (bentuk dan makna), seperti gambar kursi dapat berarti tempat duduk tetapi juga bermakna kedudukan (jabatan) (Djajasudarma, 1993: 23).
Beberapa bagian ragam keramik Plered secara tidak langsung memiliki keunikan dan menandakan ada simbol di dalamnya. Keramik berbentuk salah satu sosok tokoh wayang golek sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu di antaranya.
Bentuk lainnya yang juga mengandung unsur simbolik adalah motif flora. Ada beberapa macam motif flora dengan konfigurasi warna dan proses percampuran bahan finishing, namun secara keseluruhan selalu menggambarkan sulur, tangkai dan beberapa helai daun.
Gambar 19
Simbol sulur, tangkai dan beberapa helai daun pada keramik Plered
Ranting, daun dan buah secara simbolik berarti ‘dunia tengah’ dan termasuk memiliki pola tiga sebagaimana pola persawahan pada umumnya. Ketiganya menjadi sumber ilham yang seakan-akan tak pernah habis mengisi ruang imaginasi perajin dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun simbol-simbol yang diinginkan.
Simbol ranting, daun dan buah merupakan lambang feminitas (kewanitaan), kesuburan ataupun kehidupan. Tapi pada perkembangannya, jambangan yang mengambil ragam hias tumbuhan disertai ranting, sulur dan buah telah mengalami perubahan makna hanya sebagai unsur permintaan pasar sehingga nilai-nilai simbolis yang disandang dari jambangan tersebut lebih mengarah kepada benda pajang semata. Nilai-nilai simbol sebagai warisan budaya bangsa sudah mulai ditinggalkan seiring dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, baik itu dipengaruhi oleh seniman perajin, agama yang dianut, asal etnis, budaya setempat, lingkungan alam setempat, ataupun tuntutan perkembangan zaman. (Supantono, dkk, 2006: 92).
Jenis fauna juga dapat bermakna simbolik. Salah satu jenis fauna yang dapat dikategorikan bermakna simbolik adalah kura-kura. Dalam kepercayaan Budha, kura-kura melambangkan dunia bawah atau dunia air. Air merupakan salah satu bagian sangat vital dalam kehidupan manusia. Bagi petani, air sama halnya dengan emas karena tanpa air sawah mereka tidak akan tumbuh dengan baik. Sisi ekonomi kembali berperan. Sawah yang menjadi tulang punggung para petani diartikan sebagai kemakmuran. Oleh karena itu, kura-kura dapat dilambangkan juga sebagai pembawa kebahagiaan dan keuntungan.
Gambar 20
Keramik berbentuk kura-kura sebagai lambang dunia “bawah”
Air yang diartikan dalam makna simbolik sebagai lambang keuntungan, kebahagiaan, juga tertera dalam makna yang terkandung dalam ragam hias tumbuhan ikal/meliuk. Ragam hias ini biasa terdapat dalam wadah air.
Dalam mitologi agama Hindu hiasan ikal mursal adalah lambang kesuburan, lambang kemakmuran, dan juga lambang regenerasi tanpa putus. Ragam hias ini diadopsi sesuai dengan ajaran agama Islam yang tidak memperbolehkan penggambaran realistis bentuk tumbuhan atau binatang. Oleh perajin, tumbuhan ikal dibentuk secara abstrak dengan sentuhan artistik sehingga membentuk uliran tanaman air yang indah yang diwujudkan pola hias keramik wadah air.
Gambar 21
keramik wadah air dengan pola hias uliran tanaman air
5. Upacara/Selamatan/Doa Seputar Pembuatan Keramik
Terdapat suatu upacara selamatan yang dilakukan oleh seseorang yang baru membuka perusahaan keramik (mitembeyan). Selain itu, berbagai upacara penghormatan lainnya kepada nenek moyang mereka lakukan agar usahanya berhasil dan sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Upacara itu antara lain biasa mereka lakukan pada bulan Maulud dengan melakukan penguburan kepala kerbau, yang diikuti dengan pemberian sesajen pada alat-alat kerja mereka yang biasa disebut perbot, dan sesaji itu disimpan di atas tungku (pembakaran keramik).
Perkembangan selanjutnya, beberapa pengrajin/pengusaha tidak lagi melakukan penguburan kepala kerbau. Mereka cukup menyembelih ayam, dan darahnya ditanam di sekitar tungku. Kemudian mengadakan syukuran bersama keluarga dan para pegawainya dengan memanggil seorang ustad untuk menyampaikan siraman rohani dan berdoa bersama. Makanan yang disajikan pun cukup dengan membuat nasi uduk.
Demikian pula halnya ketika pengrajin/pengusaha membuat tungku baru, mendapat pesanan barang yang banyak, atau merasa telah berhasil dalam usahanya. Mereka sekeluarga mengadakan syukuran, berdoa kepada Yang Maha Kuasa, mengirim hadiah kepada Rasul, para sahabatnya, serta para leluhur mereka, dengan mengundang atau berkirim makanan kepada para tetangga.
Menurut mereka, pekerjaan membuat kerajinan keramik erat berhubungan dengan tanah dan api. Tanah dan api dianggap sebagai suatu benda yang suci, selain air dan udara. Dalam pekerjaannya sehari-hari, mereka selalu membakar tanah dan menggunakan api untuk pembakaran. Mereka merasa bahwa pekerjaannya itu melanggar ketertiban di dunia, yang mungkin tidak dikehendaki oleh kekuatan yang menguasai tanah dan api itu. Mereka takut memperoleh azab dari nu ngageugeuh (yang menguasai) bumi dan api itu. Maka upacara dan berbagai sesajen itu disajikan oleh masyarakat sebagai upaya memperoleh izin dan berkah agar terhindar dari kutukan gaib.
Upacara meminta izin `penguasa bumi' disebut Hajat Bumi atau Pajak Bumi atau Sedekah Bumi, yang harus dilakukan kepada Nyi Mas Bumi Siti Pertiwi, dan juga kepada Nabi Adam, Nabi Muhammad sebagai rasul, seperti yang terdapat dalam mantera yang mereka ucapkan pada saat menggali tanah liat berikut ini.
Adam bapa kawasa
Ibu Pertiwi, ojo kumeremet
Ojo kumeleler, ojo ganggu barang aku
Syeh Nabi Sulaeman, Syeh Nabi Ilyas anak putune Sela Agung, sela menumpang
Manati lang banjir kang suci
Nyucikeun sareat Nabi Asyhadu alla ilaha ilallah
Waasyhadu ana Muhammadarrusulullah
Mantera sebelum membuat barang-barang/keramik:
Allahuma Sri Sadana
Tumurun saking Datulloh Allahuma Sri Sadana
Tumurun saking Rakhmat Allah Allahuma Sri Sadana Banting wiring tetep Ku banyu sampurnaning Napsu,
teteping iman syahadat Cahayaning kersaning Allah.
Ibu Pertiwi, ojo kumeremet
Ojo kumeleler, ojo ganggu barang aku
Syeh Nabi Sulaeman, Syeh Nabi Ilyas anak putune Sela Agung, sela menumpang
Manati lang banjir kang suci
Nyucikeun sareat Nabi Asyhadu alla ilaha ilallah
Waasyhadu ana Muhammadarrusulullah
Mantera sebelum membuat barang-barang/keramik:
Allahuma Sri Sadana
Tumurun saking Datulloh Allahuma Sri Sadana
Tumurun saking Rakhmat Allah Allahuma Sri Sadana Banting wiring tetep Ku banyu sampurnaning Napsu,
teteping iman syahadat Cahayaning kersaning Allah.
Penduduk biasa pula memberikan sesajen kepada nu ngageugeuh di desa tersebut, dan biasanya dilakukan pada setiap malam Selasa dan Jumat, pada waktu sembahyang Maghrib tiba. Khusus sesajen untuk dipersembahkan kepada Dewi Padi (Nyi Sri atau Nyi Pohaci) dipersembahkan pada malam Senin. Hal ini dilakukan karena masyarakat percaya bahwa Dewi Sri juga dapat menyelamatkan mereka dari gangguan di bumi ini. Selain itu acara yang rutin dilakukan oleh para pengrajin adalah jarah (ziarah) ke makam para wali dan Syeh Panjunan yang ada di Cirebon.
Orang yang dianggap tokoh keramik di Desa Anjun adalah Bah Tasman dan H. Wirta. Kedua tokoh ini kini sudah tidak aktif lagi berkarya secara fisik, namun tetap berperan penting, menjadi tempat bertanya para pengrajin. Mereka berdua dianggap orang tua yang penuh pengalaman dalam dunia perkeramikan di desa itu.
Selain mereka, beberapa tokoh masyarakat lainnya, seperti Bapak Ajid, Mas Slamet, Bapa Kyai H. Jumad, dan Ustad Uding, sering dimintai nasihatnya oleh masyarakat dalam masalah ritual. Masyarakat sering meminta air doa dan amalan berupa wirid untuk kelancaran usaha mereka.
Berbicara masalah regenerasi di daerah Anjun, umumnya berlangsung secara alami. Dalam arti anak-anak usia dini (5 - 6 tahun), secara tidak langsung setiap hari belajar dengan cara melihat orang tuanya sedang membuat keramik. Kemudian di beberapa sekolah di Purwakarta, memiliki jadwal khusus dalam program pelajarannya, yaitu mendatangkan guru pelajaran keramik untuk anak-anak didiknya. Sementara itu, lokasi praktek tentang bagaimana cara membuat keramik biasanya dilakukan para murid di Balai Keramik.
6. Pekerja
Pekerja pembuat keramik di Plered sebagian besar adalah laki-laki. Mereka mengerjakan bagian-bagian yang memerlukan tenaga cukup besar, yang sangat sulit dikerjakan oleh perempuan. Hal ini memang telah menjadi kebiasaan yang telah lama dijalankan dalam sistem pembagian kerja pembuatan keramik di Plered. Dalam kebiasaan yang masih berlaku hingga kini, laki-laki mengerjakan jenis keramik bertipe yang besar-besar seperti pot bunga yang berukuran cukup besar, sedangkan perempuan biasa membuat kendi dan cowet (cobek).
Gambar 22
Pekerja perempuan sedang membersihkan lubang pot
Dengan porsi pekerjaan pekerja laki-laki yang lebih banyak daripada perempuan, maka berpengaruh pula terhadap sistem pemberian upah atau gaji yang mana upah pekerja laki-laki lebih besar daripada upah pekerja perempuan.
Berangkat dari sistem pembagian kerja tersebut, sistem pemberian upah menjadi tidak tepat didasarkan atas perbedaan gender mengingat jumlah upah pekerja laki-laki lebih besar daripada perempuan. Pernyataan yang mengatasnamakan perbedaan upah dalam industri keramik Plered berdasarkan gender pernah diungkapkan oleh Henry Sandee. Ia yang menyatakan dalam studi tentang "Industri Keramik di Plered", bahwa pada industri keramik di Plered lebih banyak mempekerjakan perempuan karena upah mereka lebih rendah 25% dari pada laki-laki.
Pernyataan Henry Sandee juga disanggah oleh hasil penelitian SMERU tentang Aspek Ketenagakerjaan Semasa Krisis Ekonomi, yang menyatakan bahwa bahwa penetapan upah pekerja tidak didasarkan pada perbedaan jender, melainkan pada jenis pekerjaan yang dilakukan, masa kerja, dan tingkat jabatan pekerja, yang berarti bahwa upah perempuan tidak selalu lebih rendah dari laki-laki.
Pembagian upah kerja yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan tersebut rupanya tidak berlaku bagi pekerja anak-anak. Mereka mendapat upah yang didasarkan atas hasil kerja mereka. Di Desa Anjun, biasanya seorang anak yang telah mencapai usia sekitar 7 tahun sudah mulai memasuki pasaran tenaga kerja sebagai pembantu pengrajin, bahkan ada di antara mereka ada yang sudah menjadi pekerja secara mandiri di dalah satu perusahaan. Jadi, mengerjakan kerajinan tanah liat itu dikerjakan masyarakat sejak mereka bersekolah tingkat SD. Upah yang mereka terima, kalau tidak digunakan untuk membantu kebutuhan rumah tangga orangtuanya, biasa mereka gunakan pula untuk membiayai sekolahnya sendiri. Suatu kebiasaan yang cukup positif apabila pengaturan jam kerja mereka disesuaikan dengan jam sekolah, sehingga tidak ada kasus bolos sekolah karena anak-anak bekerja di perusahaan keramik. Biasanya bentuk pekerjaan yang dikerjakan anak-anak itu masih ringan sifatnya, seperti mengecat atau menjemur barang-barang sebelum dibakar atau mengumpulkan barang-barang setelah dibakar. Mereka bekerja dengan sangat trampil dan penuh kesungguhan. Dalam satu hari bekerja selepas pulang sekolah mereka dapat mengumpulkan uang yang cukup lumayan jumlahnya.
C. Pemasaran
1. Pendukung
Minggu, tanggal 24 Agustus 2004, 13 negara yang tergabung dalam GC (Goverrning Council) CIRDAP (Centre on Integrative Rural Development for Asia and the Pasific) mengadakan kunjungan ke Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta. Di Desa Anjun Kecamatan Plered, ke 13 delegasi yang melihat pameran mini hasil kerajinan masyarakat sangat terkesan dan menarik perhatiannya. Bahkan, beberapa anggota delegasi sempat mencoba alat pembuat keramik sederhana. Bupati Purwakarta Drs. H. Lily Hambali yang selalu mendampingi para delegasi banyak ditanyai oleh para delegasi tentang hasil-hasil yang dipamerkan. Direktur Jenderal CIRDAP Dr. Mya Maung sangat terkesan setelah melihat langsung bagaimana Kabupaten Purwakarta mampu mengembangkan kegiatan pembuatan keramik oleh masyarakat desanya. Peninjauan ini sangat bermanfaat dan nantinya akan dijadikan bahan informasi dan pengalaman yang akan dibahas pada sidang GC CIRDAP ke 14 di Jakarta.
Momen seperti di atas memberikan arti bahwa keramik Plered memang telah diakui oleh manca negara. Hal ini salah satunya disebabkan karakteristik produk kerajinan keramik Plered ini mempunyai keunikan tersendiri, berbeda dari daerah penghasil keramik lainnya yang ada di Indonesia. Dalam hal ini bisa dilihat dari ragam bentuk desain keramik yang dikembangkan oleh para pengrajin keramik hias Plered yang selalu mengikuti trend pasar dunia, berani menampilkan gagasan yang bebas tanpa menghiraukan patron-patron keramik secara akademis sehingga acapkali mengundang kontoversi di dunia perkeramikan. Akan tetapi justru dengan keberanian menampilkan gagasan segar dalam beragam teknik, malah banyak permintaan pasar untuk eksport.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh UPTD Litbang Keramik Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Purwakarta pada tahun 2002, diketahui jumlah unit usaha yang berada pada sentra industri kecil keramik Plered, terutama di Desa Anjun, sebanyak 127 unit usaha dan mempekerjakan 1.400 orang.
Nilai ekspor produk keramik pada tahun 2001 mencapai Rp. 1,2 milyar atau 26.7% dari nilai total produksi sebesar Rp. 4,5 milyar. Sementara itu data pada tahun 2003 – 2004 di Desa Anjun Plered, jumlah pengusaha kerajinan keramik sebesar 264 unit dan melibatkan lebih dari 30 karyawan dengan nilai produksi untuk ekspor berkisar 8,5 milyar. Sampai sampai saat ini mulai dari tahun 1999 setiap tahunnya lebih dari 60 kontainer yang dikirimkan ke manca negara Amerika Serikat dan Eropa serta sebagian negara Asia dan Autralia. Negara tujuan ekspor keramik ini antara lain Jepang, Taiwan, Korea, Australia, New Zealand, Belanda, Kanada, Saudi, Arabia, Amerika Serikat dan Latin, Inggris, Spanyol, Italia, dan manca negara lainnya.
Jenis produk pada sentra keramik ini meliputi produk-produk terracotta/ gerabah, stoneware dan porselen. Bahan baku yang diperlukan didatangkan dari Desa Citeko yang berjarak kurang lebih tiga kilometer dari lokasi sentra industri kecil keramik tersebut. Beberapa BUMN yang pernah membantu pemodalan industri kecil keramik di Plered antara lain PT BRI, PT BNI 46, PT Sucofindo, PT Pupuk Kujang, Perum Otorita Jatiluhur, PT Jasa Marga dan PT Semen Cibinong. Selain sentra industri kecil keramik, di Kecamatan Plered juga terdapat sentra industri kecil bata dan genteng yang berpusat di Desa Citeko dan Desa Pamayonan. Pada tahun 2001, jumlah unit usaha Industri kecil bata dan genteng keramik mencapai 313 unit dan mempekerjakan 116.850 orang. Nilai produksi industri genteng keramik pada tahun tersebut mencapai Rp. 44,9 milyar.
2. Kendala
Hal yang wajar dalam dunia perekonomian adalah ditemukan berbagai kendala yang dapat menghambat pertumbuhan suatu wilayah atau jenis usaha. Hambatan usaha juga dialami oleh para pengusaha industri kecil keramik dan genteng di Kecamatan Plered.
Kendala Etos Kerja dan Kultur Budaya
Dari sumber-sumber pemerintah Kabupaten Purwakarta diperoleh informasi bahwa upaya peningkatan mutu, kualitas dan nilai tambah produk keramik telah banyak dilakukan, mulai dari penyuluh baik secara langsung maupun tidak langsung, maupun melalui program-program percontohan. Dinas Perindustrian dan Penanaman Modal Kabupaten Purwakarta telah memberikan bantuan teknis cara-cara pengolahan bahan mentah menjadi bahan baku (tanah super) yang baik agar diperoleh hasil tanah dengan kualitas yang benar-benar super, juga cara-cara melakukan pemrosesan tanah tersebut hingga menjadi genteng atau keramik. Tetapi karena Etos Kerja dan Kultur Budaya para pengusaha kecil yang ingin kerja cepat dan serba murah, akhirnya cara-cara tersebut banyak diabaikan. Misalnya proses pengolahan tanah yang membutuhkan 20% campuran silika (Si02) dan kapur (CaCO3) hanya diberikan 12 – 15% saja. Atau proses pengeringan serta proses pembakaran terkadang dilakukan dengan terburu-buru sehingga banyak tanah yang rusak atau produk yang pecah. Banyak pengusaha kecil keramik dan genteng yang merasa sok tahu karena industri yang dijalankannya merupakan industri yang cukup tua dan telah diusahakan secara turun-temurun, sehingga meeka cenderung tidak mau mempehatikan penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan. Selain itu, para pengusaha keramik dan genteng di Plered juga menghadapi kendala akibat kepercayaan pelanggan yang rendah karena para pengusaha tersebut sulit memenuhi tenggat waktu (delivery time) produksi, serta sulit untuk mempertahankan kualitas produk yang dikirimkan dalam skala besar agar tetap bagus (terkadang sebagian bagus dan sebagian lagi buruk).
Kendala Investasi
Investasi dapat diartikan sebagai masuknya modal dari luar, baik dari pengusaha nasional maupun internasional yang sering disebut dengan istilah PMA (Penanaman Modal Asing). Adapun investasi yang dilakukan oleh PMA secara besar-besaran selain memberikan dampak positif juga terdapat pula sisi negatif bagi daerah setempat. Dampak positifnya adalah pendapatan serta investasi asing bisa didapatkan dengan adanya PMA tersebut, sehingga diharapkan hal tersebut membantu meningkatkan iklim investasi di Indonesia yang saat ini sedang lesu. Dampak negatifnya, Kehadiran PMA di dalam negeri (Plered khususnya) seringkali mengakibatkan terganggunya pasar ekspor untuk pengusaha lokal.
Terlepas dari sisi negatif masuknya kehadiran pengusaha nasional maupun internasional di Plered, Sisi positif tampaknya lebih besar karena mau tidak mau untuk mengembangkan dan memajukan sebuah produk tentunya harus melebarkan sayap menuju pangsa pasar yang lebih besar. Sangat disayangkan, saat ini Produk keramik hias Plered Kabupaten Purwakarta memang belum mempunyai perangkat pemasaran yang memadai sehingga terasa sulit untuk dapat menembus pasaran ekspor. Padahal, produk keramik hias Plered sangat disenangi konsumen asing sebagai barang kerajinan tangan tradisional yang arstistik dengan corak unik dan antik.
Perangkat pemasaran itu, seperti izin ekspor-impor, perusahaan penjamin, pengurusan LC (Letter of Credit), forwarding (pengangkutan dan pengemasan), shipping (pengapalan), dan fasilitas teknologi informasi (IT). Perangkat pemasaran itu menjadi syarat utama untuk mengekspor barang.
Minat konsumen asing cukup tinggi, paling sedikit 30 buyers yang menawarkan kontak bisnis keramik hias di Plered. Mereka berasal dari Amerika, Italia, Spanyol, Arab Saudi, hingga Afrika Selatan. Pemerintah hanya bisa memfasilitasi pada masalah peningkatan proses produksi kualitas barangnya, tetapi kalau sudah menyangkut bisnis mumi harus dilakukan perusahaan swasta. Apalagi untuk mengadakan perangkat pemasaran di atas berikut segala pengurusannya memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Meski demikian, pihak UPT Dinas Litbang Keramik Plered, Disperindag dan Penanaman Modal Kabupaten Purwakarta sedang menjajagi kerja sama dengan Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI) untuk memfasilitasi penyediaan perangkat pemasaran termasuk perusahaan penjaminnya.
Departemen Perindustrian pada tahun 2006 juga akan mengkaji penerapan standardisasi terhadap produk gerabah dan keramik hias di seluruh sentra produksi gerabah dan keramik hias di Indonesia. Selain Plered Purwakarta, sentra gerabah dan keramik di Indonesia adalah Kasongan (Jawa Tengah) dan Singkawang (Kalimantan Barat). Sejauh ini, salah satu sentra-sentra produksi gerabah dan keramik hias yang cukup menonjol berlokasi di Plered, Purwakarta. Tri Reni Budiarti (Direktur Industri Kerajinan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Depperind), mengatakan bahwa standarisasi tersebut perlu dilakukan mengingat selama ini gerabah dan keramik hias belum ada penelitian dan pengkajian kualitas mutu bahan baku. Pengkajian untuk upaya standardisasi itu, akan dilihat dari kualitas keramik hias dan gabah di tiap sentra. Raw material di tiap sentra berbeda, karenanya standardisasi di tiap sentra juga akan berbeda. Dengan adanya standardisasi tersebut, keramik hias dan gerabah di tiap sentra akan memiliki kualitas yang sama.
Selain program standardisasi, Depperind tahun 2006 juga akan mengembangkan cluster industri kecil menengah (IKM) gerabah dan keramik hias. ASAKI juga bekerja sama dengan Dinas Perindustrian setempat dalam bentuk pembinaan perajin keramik hias dan gerabah di satu tempat atau di kelompokan. Hal tersebut sangat berguna untuk pengembangan kualitas keramik hias IKM skala kecil. Asaki menargetkan pada 2007 sudah tercipta linkage dengan pasar Eropa untuk pengembangan pemasaran produk keramik hias dan gerabah dalam negeri.
Hambatan lain yang dihadapi para perajin adalah ketidaktahuan kebutuhan pasar terkini atau yang sedang tren. Hal itu terkendala akibat minimnya informasi mengenai perkembangan peta kebutuhan pasar dunia,, yang menyangkut model, corak, dan warna. Akibatnya penjualan barang-barang monoton ketika dipasarkan. Padahal sistem informasi, pemasaran, serta peningkatan mutu produk menjadi syarat utama dalam penjualan keramik ini. Kiat-kiat tersebut sudah diterapkan oleh negara luar yang menjadi pesaing produk keramik Plered, seperti Cina dan. Italia.
Para pesaing dari luar negeri juga ternyata telah memasuki pasaran dalam negeri Indonesia. Kasus penyelundupan keramik illegal, terutama dari China juga sudah banyak dan telah lama terjadi. Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar Lilik Asjudirja mengatakan bahwa ancaman barang-barang impor dari China saat ini telah menjadi pesaing serius bagi sentra-sentra produksi di dalam negeri. Keramik Plered telah tersaingi oleh keramik dari China yang harganya juga jauh lebih murah dibanding produk dalam negeri.
Keramik Plered pemah diekspor ke Malaysia, Canada, dan Amerika Serikat. Temyata mereka lebih senang dengan model yang berwarna buram, tanpa warna dan motif. Untuk pasaran dalam negeri, tahun-tahun lalu dirasakan pasaran pot bunga agak menurun. Upaya yang dilakukan adalah kemudian membuat disain baru dalam motif. Karya-karya para lulusan UGM dapat dijadikan sebagai masukan para perajin. Selanjutnya tahun 2006 ini pesanan akan pot-pot besar sempat membludak. Pemesan banyak berdatangan dari Bekasi dan Magelang. Salah satu kelemahan pasaran keramik di Plered adalah harganya yang tidak seragam di tiap perajin. Hal itu juga berpengaruh pada hak cipta seseorang (perajin) akan jenis barang yang dihasilkannya.
Masyarakat Ajun dulu terkenal akan keahliannya dalam membuat celengan dan cowetnya. Kalau sekarang barang berupa pot, dilihat dari konsumennya jauh lebih menguntungkan. Jadi pembuatan keramik bergantung pada konsumen, jenis barang mana yang paling banyak dipesan mereka, itulah yang kemudian lebih banyak diproduksi oleh pada umumnya perajin.
Kebanyakan konsumen keramik di Plered adalah pedagang-pedagang borongan. Paling sedikit mereka membeli hingga satu mobil. Bagi pengusaha keramik, kemudian barang-barang yang tidak laku akan dijual murah untuk perputaran modal. Jadi tak ada harga tetap, tetapi sudah ada standar penjualan sendiri untuk para pembeli dengan partai besar.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Realita yang ada dalam dunia perkeramikan di Indonesia adalah bahwa keramik produksi desa Anjun kecamatan Plered telah banyak diminati tidak hanya buyers nasional tetapi juga dari internasional. Apa yang diharapkan dari sebuah jenis usaha agar lebih maju lagi adalah tawaran hasil produk mereka dalam bentuk keramik mendapat pasar yang cukup – atau bahkan berlebih. Hal ini kurang ditanggapi serius pengusaha keramik desa Anjun dan tidak dijadikan opini publik yang dapat dijadikan acuan pemerintah agar serius menangani masalah ini.
Pola tradisional bentuk keramik dan tipe penjualan secara cash ternyata kurang mampu menunjang pengembangan sayap pemasaran hingga ke mancanegara. Pemerintah hanya melihat proses awal hingga bentuk jadi saja dalam membantu para pengusaha keramik, sedangkan hal tersebut ternyata kurang berarti karena apa yang ditawarkan pemerintah menjadi mentah lagi tatkala produk keramik membludak tanpa adanya pembeli. Tentunya jenis pembeli yang ada tidaklah melulu masyarakat pemakai keramik untuk kebutuhan rumah tangga semata, tetapi mereka yang menganggap keramik sebagai sebuah benda penambah nuansa artistik bagi rumah atau kantor mereka.
Peralatan tradisional yang ada saat ini ternyata masih dipergunakan pengusaha keramik, dan hal tersebut sah-sah saja karena toh hasil akhirnya tidak kalah dengan produk keramik dengan menggunakan teknologi tinggi. Permintaan pasar nasional dan internasional terhadap jenis keramik dengan motif tertentu ternyata dapat dikerjakan meski dengan menggunakan peralatan tradisional. Hanya pemakaian peralatan tradisional memiliki kelemahan dari sedi kuantitas sehingga kurang dapat mengejar omzet mengingat pekerja memiliki batas kekuatan tertentu dan tidak akan mampu bertahan seharian penuh untuk mengejar omzet yang diminta. Pada sisi ini, penerapan teknologi tepat guna mulai dilirik. Terbukti dengan adanya beberapa jenis alat cetak dan alat pengolah mekanik yang dirasakan sangat membantu pekerjaan para pengrajin keramik.
Regenerasi para pekerja tampaknya tidak menjadi masalah yang memberatkan bagi para pengusaha keramik di desa Anjun mengingat keahlian membuat keramik dapat diperoleh melalui orangtua/saudara/teman-teman. Khususnya para orangtua memang telah mengajarkan keahlian membuat kepada anak-anaknya secara turun menurun. Antusiasme para anak ditunjang oleh upah yang cukup – untuk sekedar jajan - dan jenis pekerjaan yang seperti barang mainan, seperti mengecat, menjemur keramik, bahkan membuat keramik sederhana. Sementara itu, jenis pekerjaan yang ditawarkan dalam produk keramik juga tidak ketat sehingga anak-anak memperoleh waktu luang untuk bermain dan bersekolah.
Para orangtua yang mewariskan keahlian membuat dan menghias keramik memiliki pola tawar yang sesuai dengan keinginan generasi penerusnya. Maksudnya, hal-hal yang mengandung dunia mistis dan tidak masuk akal dimata anak-anak sekarang tidak atau kurang diwariskan karena secara tidak langsung akan mengurangi minat anak untuk menggeluti dunia keramik. Oleh karena itu, proses upacara tradisional sebelum, saat, dan setelah keramik selesai dibuat dilaksanakan secara ringkas atau bahkan tidak dilaksanakan. Cukup dengan membaca Bismillahirrohmannirohim maka keramik siap dikerjakan. Hal ini terjadi mengingat desa Anjun masih memegang teguh ajaran agama Islam dan sesuatu yang kurang ditopang dalam Islam sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.
B. Saran
Upaya promosi untuk ke depannya, tampaknya para perajin dan pengusaha harus selalu ikut pameran di event-event tertentu, seperti pameran produk dalam negeri di TMII. Selama ini kesulitan para perajin Plered adalah dalam hal finishing dan mencari formula bahan baku yang baik, sehingga kadang jauh tertinggal dengan daerah-daerah penghasil keramik lainnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- "Keramik Plered Sulit Dipasarkan - Tidak Punya Perangkat Pemasaran Memadai". dalam Pikiran Rakyat, 28 Maret 2006
- “13 Negara Kunjungi Sentra Industri Keramik Plered”, dalam Siaran Pers Pemda Kabupaten Purwakarta, Selasa, 26 Agustus 2003.
- “Tanah Liat Plered Melanglangbuana”, dalam Harian Pikiran Rakyat, Rabu, 28 Januari 2004.
- Astana, I Gst. Ketut, dkk., “Teknologi Pembuatan Keramik”, dalam www.ipteknet.go.id, 27 Januari 2006
- Bais, Zainuddin, dkk., Pengrajin Tradisional Daerah Bengkulu, Bengkulu: Depdikbud, Proyek IPNB, 1981.
- Darminto, T.H.A., Aspek Seni Kriya dalam Arus Modernisasi, Jakarta: Depdikbud, 1987.
- Djajasudarma, Fatimah, T, Semantik I, Pengantar Ke arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco, 1993.
- Herayati, Yeti, dkk., Pengrajin Tradisional di Daerah Rajapolah Propinsi Jawa Barat, Bandung: Depdikbud, Proyek IDKD, 1987
- Hidayat, Dedi N., “Penulisan Proposal Penelitian untuk Pengembangan Ilmu”, Makalah pada Workshop Pengembangan Kegiatan Penelitian Staf Pengajar FISIP-UI tanggal 30 Januari 2000 di Depok, 2000.
- Hildawati Siddharta. 1982-1983. "Sepintas tentang Perkembangan Keramik Indonesia " dalam Majalah Analisis Kebudayaan Tahun IIII No. 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kusnaka Adimihardja, M.A., dkk, Keramik : Kerajinan Rakyat Plered Di Desa Anjun, Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta. Bandung : Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1986.
- Media Indonesia online, DPR Nilai Maraknya Produk China Potensi Picu Pengangguran, Kamis 16 Maret 2006
- Rizki Filaili, dkk, Buku I: Peta Upaya Penguatan Usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat Tahun 1997-2003, Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU Kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2003.
- Sujatmiko, Iwan Gardono, “Sumber Data Kualitatif”, Makalah pada Pelatihan Metode Kualitatif PAU-IS-UI 10 Nopember 1998 di Depok, 1998
- Supantono, Widihardjo, Achmad Haldani, “Identifikasi Unsur Simbolik pada Gerabah Tradisional Jawa Produksi Tahun 1995-2005”, dalam Jurnal Rekacipta Vol II. No. 2 tahun 2006,
- Tim peneliti Smeru, “Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung”, dalam SMERU Newsletter No.7, Agustus 1999.
- Triguna, Ida Bagus Gede Yudha, “Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Bali”, Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997.
3 komentar:
sekarang saya lagi kuliah di jurusan pendidikan sejarah UPI dan berencana untuk menulis skripsi tentang perkembangan industri genteng Plered khususnya di desa citeko. dimanakah kira2 saya dapat mendapatkan data yang lengkap terkait pabrik genteng sekitar tahun 70-an sampai tahun1998an.. di BPS ternyata tidak ditemukan.. sekalian juga minta saran referensi yang cocok dengan kajian saya tersebut (perlembangan industri genteng dan kontribusinya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat (1970-1998)
saya kepingin ulasan dan gambar-gambar khusus tentang keramik plered yang berupa patung.
kok gx ada gambarnya?
Posting Komentar