Abstrak
Berbagai naskah kuno yang merupakan kekayaan budaya masa lampau saat ini tersebar di seluruh Nusantara. Media yang dipergunakan untuk menulis karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah daun lontar, kertas daluang atau dluwang, bambu atau kulit kayu. Dengan demikian, keberadaan kertas sebagai media karya intelektual dalam kehidupan manusia cukup penting. Karena selain sebagai dokumen pencatat ilmu pengetahuan, kertas juga berfungsi media untuk promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan, dan lain sebagainya. Di atas permukaannyalah terletak berbagai informasi yang ingin disampaikan, misalnya tulisan atau gambar.
Keyword: Kertas, dluwang dan kodikologi
1. Pendahuluan
Sebelum kertas diketemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha mencari permukaan-permukaan benda yang sekiranya cocok untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Awalnya, mereka mengungkapkan perasaan dengan cara menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan lain sebagainya (lih. Nooryan Bahari, 1995). Tradisi ini telah dikembangkan sejak zaman prasejarah terutama pada masa berburu dan meramu. Pada fase itu manusia belum menemukan cara melambangkan bunyi dalam bentuk tertentu. Jadi, dengan adanya gambar manusia dapat mengemukakan ide, gagasan dan logika dalam bentuk gambar. Dengan demikian, gambar merupakan hasil budaya pada masa awal yang mempunyai arti penting dalam perkembangan sejarah kebudayaan manusia, yaitu era ”pembuka“ tradisi tulis dan berarti pula memasuki periode baru, yaitu periode sejarah. (lih. Endang Sri Hardiati, 2002: 1).
Oleh karena sebagian besar peninggalan gambar tersebut dapat ditemukan pada batu, maka batu pada masa itu merupakan sarana awal untuk berkomunikasi lewat “tulisan“, hampir sama sebagaimana bahan tersebut digunakan sebagai patung. Melalui medium ekspresi ini dapat diketahui bahwa kelompok piktograf dan ideograf memainkan peranan penting pada fase-fase awal sejarah kebudayaan manusia (lih. Nooryan Bahari, 1995). Hal ini dapat diketahui melalui obelisks yang memuat pahatan huruf hieroglyphs Mesir. Selain itu, bangsa Sumeria di daerah sungai Efrat dan Tigris (Irak sekarang), yang sejarahnya diperkirakan dimulai sejak 3000 tahun lalu telah menciptakan dan menggunakan huruf-huruf paku (cuneiform), yang merupakan tulisan pertama yang dikembangkan di dunia. Ketika Sumeria ditaklukan, si pemenang berbaur dengan orang-orang Sumeria dan mengambil alih tulisannya. Pada waktu itu tulisan paku masih dipahat di atas batu.
Orang-orang Chaldea dari Babylonia Kuno, telah mencap tanda-tanda dengan alat ukur tulang ke dalam tanah liat dalam berbagai ukuran dengan huruf-huruf paku. Tanah liat tersebut kemudian dibakar sehingga menjadi keras. Hasilnya lalu dikirimkan ke orang lain, seperti halnya tulisan kertas berharga dan surat-surat yang dipertukarkan saat ini.
Adapun penggunaan logam seperti kuningan, tembaga, perunggu dan timah, tidak diketahui pada awal peradaban. Dalam Bibel, referensi terhadap pemakaian timah hanya dibuat untuk tulisan-tulisan permanen. Seentara logam-logam yang lain digunakan dalam pemeliharaan atau pengawetan perjanjian-perjanjian, hukum-hukum dan persekutuan-persekutuan. Orang-orang Rowawi, misalnya menggunakan perunggu dalam mencatat peringatan-peringatan mereka. Selain itu, sebelum berangkat ke medan pertempuran, para serdadu Romawi memahat keinginan mereka pada gesper logam atau pada sarung pedang mereka. Sebagai benda kesayangan, maka barang-barang perunggu tersebut dipahat dan diukir dengan nama-nama atau simbol mereka pada awalnya, kemudian ditulisi untuk memperingati suatu peristiwa atau menerangkan alasan bagi pembuatan benda-benda perunggu tersebut, atau untuk menerangkan cara menggunakannya, atau untuk mencatat nama-nama dari para pembuatnya (lih. Nooryan Bahari, 1995).
2. Kertas Eropa dan Kertas Daluang
2.1. Sejarah Kertas Eropa dan Persebarannya
Buku-buku besar tersusun dari lembaran-lembaran kayu telah dipakai sebelum masa Homer ( + abad 9 SM). Bahan utamanya berasal dari pohon citron. Setiap bagian kayu biasanya ditutup dengan suatu lapisan kayu halus tipis dari lilin, kapur atau plester dan tanda-tanda atau tulisan ditorehkan pada lapisan itu dengan menggunakan sebuah logam atau tulang yang berbentuk runcing. Teknik ini memungkinkan untuk menghapuskan tulisan dengan cara pelapisan kembali lembaran-lembaran kayu tersebut. lembaran kayu itu kemudian diikat bersama-sama dengan sabuk kulit sehingga menjadi susunan buku yang disebut codex. Buku ini tetap dipakai hingga abad ke 14.
Di negeri Timur tanda-tanda itu ditulis dalam bilah-bilah bambu kering yang diikat bersama-sama sehingga membentuk bundelan atau ikatan. Ukuran barang tersebut tanggung sehingga sukar untuk menyimpannya. Setiap kali buku dipergunakan, maka tali itu harus diikatkan kembali. Orang-orang Cina dahulu kala, tidak memberikan nomor pada bilah-bilah bambu tersebut sehingga membingungkan urutannya tatkala tali pengikatnya putus atau bilah-bilah tersebut dibongkar (lih. Nooryan Bahari, 1995).
Menulis pada daun palem dan jenis tumbuh-tumbuhan lain telah dipraktekkan sejak zaman dahulu kala di Romawi dan negara-negara Timur. Daun palem yang lebar dan berstrip dari berbagai ukuran panjang dan lebar, kira-kira dipotong 2 inci. Kemudian digunakan sebuah alat dari logam yang berbentuk runcing untuk menoreh daun tersebut. Hasil torehan kemudian diisi dengan semacam cat yang dibuat dari arang sehingga tulisan-tulisan tersebut menjadi jelas dan menonjol. Setiap lembar daun ditusuki untuk membuat 2 buah lubang dan daun-daun tersebut diikat bersama dengan tali untuk menjadi sebuah buku. Pemakaian daun-daun dari berbagai pohon tersebut menghadirkan istilah kata “leaf” yang saat ini mempunyai arti bagian dari sebuah buku.
Kulit dari berbagai macam pohon telah digunakan sebagai bahan tulisan, hampir pada setiap periode dan daerah. Di zaman Latin kulit pohon bagian dalam telah digunakan, dikenal dengan nama liber. Pada waktu itu, pengertian liber adalah istilah untuk buku itu sendiri dan kata “library” berasal dari istilah liber tersebut.
Orang-orang Indian Amerika telah menulis bahasa simbol mereka dengan tongkat-tongkat kayu dan cat cair pada kulit pohon birch putih dari Amerika Utara. Penduduk asli Amerika Selatan, termasuk Mexico membuat semacam kertas dengan cara memukul kulit bagian dalam pohon moraceous. Namun, sayang sejarah tidak memperlihatkan penduduk asli yang sekarang disebut Amerika Serikat pernah membuat kertas dari jenis pohon moraceous.
Parchment adalah suatu bahan berupa lembaran yang terbuat dari kulit binatang, yang menimbulkan kesan antik, mempunyai daya tahan lama bahkan sampai ratusan tahun. Parchment telah menjadi pembawa nilai yang sangat berarti bagi catatan-catatan dan cerita-cerita dari zaman klasik Yunani hingga abad pertengahan, tetap ada hingga sekarang sebagai saksi terhadap bahan yang sangat bermanfaat ini. Kata “parchment” diambil dari Pergamum, sebuah kota kuno Mysia di Asia Kecil. Para ilmuwan berpendapat bahwa parchment atau kertas dari kulit mungkin sudah digunakan sejak 1500 SM, akan tetapi parchment tersebut tidak digunakan menjadi permukaan untuk menulis sampai sekitar 200 SM kemudian. Kulit binatang dapat diberi warna, disemir. dibengkokkan dan diberi perhiasan dengan cara ditatah, diukir, dilubangi dan dijahit. Parchment yang sebenarnya tidak seperti halnya kulit, terbuat dari belahan kulit domba. Bagian terkecil dan sisi bulu-bulu domba dari kulitnya dibuat menjadi skiver, yaitu bahan yang cocok untuk dipakai dalam penjilidan buku. Daging dan sisi-sisi dari kulit diubah menjadi parchment atau kertas kulit dan akan menjadi kualitas yang paling bagus.
Vellum terbuat dari kulit anak sapi atau kulit anak domba dan biasanya terbuat dari seluruh kulit itu. Perbedaan antara Vellum dan parchment terlihat pada butir-butir dan tanda-tanda rambut yang biasanya menghasilkan permukaan yang tidak teratur. Parchment biasanya lebih konsisten dalam penampilan dan tidak memiliki sifat-sifat elusive ini. Parchment dan vellum harus digores, digosok dengan kapur dan direntangkan sehingga kulit mempunyai bentuk penampilan yang rata. Setelah itu ditaburi dengan pasir dari batu apung yang halus agar permukaannya menjadi bagus untuk menulis dan kaligrafi. Penulisan selama berabad-abad telah dilakukan dengaan sangat selektif dengan kulit untuk menjamin kesamaan warna dan kualitas permukaan dalam penjilidan yang memerlukan banyak halaman. Parchment tetap terus dipakai sepanjang masa Renaissance dan disebutkan bahwa untuk menghasilkan sebuah duplikat tunggal dari Bibel Gutenberg, diperlukan kulit domba sebanyak 300 ekor (lih. Nooryan Bahari, 1995). Parchment dan vellum masih selalu dibutuhkan sampai saat ini untuk mendapatkan diploma, sertifikat, hak-hak paten dan sebagainya dalam keadaan yang bagus dan alamiah. Para penulis kaligrafi mendapatkan bahan-bahan ini agar sesuai dan ideal dalam membuat karya.
Percobaan pertama yang telah sangat berhasil dengan gemilang untuk pembuatan sebuah barang yang menyerupai kertas modern seperti yang telah banyak dikenal selama ini, telah dibuat di Mesir pada zaman dahulu. Suatu tanaman air yang dikenal dengan nama papyrus telah menghasilkan bahan tersebut. Papyrus merupakan suatu tanaman yang sangat menarik perhatian, tangkainya tumbuh dari 10 hingga 15 kaki tingginya. Tangkainya berbentuk segitiga secara bersilangan dan di sekeliling dasarnya tumbuh beberapa daun yang berserabut pendek. Papyrus sangat halus atau rata, tanpa bonggol-bonggol dan duri-duri yang menuju pada kelompok bunga besar, nyaman dan berbentuk rumbai. Tanaman tersebut tumbuh dengan indah di tepian danau yang kecil dan sungai-sungai di bagiaan Afrika. Perdagangan kertas Mesir telah berkembang dengan pesat pada abad ke 3 dan berlanjut hingga abad ke 5 SM.
Tumbuhnya pemakaian kulit binatang serta perubahan-perubahan geografis daerah sungai Nil, telah mendorong terhadap ”matinya“ papyrus. Penanaman menjadi sukar dan papyrus menurun dengan drastis. Kata “paper“, “papier” dan “papel” diambil dari kata latin papyrus. Biblios merupakan terminologi latin yang digunakan untuk arti bagian dalam serabut (fiber) dari tanaman papyrus dan tulisan pada lembaran-lembaran papyrus dikenal dengan sebutan biblia (lih. Nooryan Bahari, 1995).
Masih banyak lagi bahan-bahan menulis dan menggambar yang bisa dibandingkan dengan papyrus: misalnya naskah-naskah Mayan dan Aztec yang dibuat dari suatu bahan serupa kertas dengan cara memukul kulit pohon fig (ficus) dan mulberry (Morus). Orang Mayan menyebut kertas kulit pohonnya dengan istilah huun dan menggunakannya dalam pembuatan tabel-tabel hieroglyphic mereka. Sementara orang-orang Aztec telah membuat suatu zat yang disebut amatl dengan cara merebus lembar-lembar kulit ke dalam suatu campuran yang kemudian dipukulkan dan ditorehkan pada lembaran-lembaran. Pendekatan kuno untuk pembuatan kertas ini masih dipraktekkan di antara orang-orang Indian Otomi dari Mexico Selatan. Kertas-kertas kulit Amati dari orang-orang Aztec dan Mayan, dan sesuatu yang disebut kertas merang dari Formoza. Kertas merang yang digunakan di sini adalah nama yang salah, karena kertas merang dari Formoza tersebut sebenarnya adalah suatu bahan yang tipis dan dipotong secara spiral dari lapisan bagian dalam sebuah pohon asli di negara tersebut dan tidak ada hubungannya dengan padi atau turunannya, atau kertas merang yang sebenarnya. Kertas merang digunakan digunakan di Cina untuk lukisan sumi dan kaligrafi.
Orang yang menemukan kertas untuk pertama kali secara pasti tidak diketahui, meskipun dokumen-dokumen sejarah Cina lama secara hati-hati dan tegas menyebutkan Ts’ai Lun membentuk kertas pertama kali pada tahun 105 sesudah Masehi. Hal ini ditulis Sukey Hughes (1978) dalam buku Washi The World of Japanese Paper sebagai berikut:
“Exactly how true paper come into being is not precisely known, but scolars have formed a good theory. Although old Chinese historical documents carefully and explicitly credit one Ts’ai Lun, acourt eunuch, with the invention of paper ini central China in 105 A.D., it is certain that neither the idea nor the product was arrived at overnight.”
Ada perbedaan pendapat yang menyatakan apakah Ts’ai Lun benar-benar sebagai penemu kertas sesungguhnya atau sebelumnya sudah ada yang menemukan kertas. Masalah ini dinyatakan oleh Vance Studley (1977) sebagai berikut.
“There is some dispute as to whether Ts’ai Lun was indeed the true inventor of paper. Scholar feel that a kind of paper made from silk may have preceded his product. The credit of original invention of fused paper first used silk waste to make paper, and the time was before A.D. 105. It was known that in the year 12 B.C. paper was already used for wrapping medicine in the imperial court. The fact that Ts’ai Lun retained the old name chih, a partial word for silk, instead of using a new name was further proof that paper was not an entirely new product but only an improvement on something which already existed.”
Kertas dapat menjadi bagian dari budaya Eropa melalui perjalanan sejarah yang panjang. Terlepas dari pro – kontra tentang penemu kertas, tetapi sejarah telah mencatat Ts’ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya pada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 Masehi. Hal ini membuat gembira hati kaisar sehingga ia dianugerahi gelar kebangsawanan (lih. Hart, 1990: 62; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Kertas ciptaan Ts’ai Lun ini dibuat dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero Cina. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, pembuatan kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang seiring dengan menyebarnya bangsa-bangsa Cina ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu meskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia.
Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Selama perang di sepanjang perbatasan Turkistan, sejumlah pembuat kertas bangsa Cina tertangkap dan dipaksa untuk membuka rahasia profesinya. kepada orang-orang Arab sehingga di zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand. Kemudian Samarkand menjadi wilayah pembuat kertas karena mendapat pengetahuan baru yang diperolehnya serta didukung kondisi alamiah yang cocok untuk pembuatan kertas. Berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas agak terlambat, yaitu pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol (lih. Hart, 1990: 63; Bani Sudardi, 2003: 91).
Sekitar abad ke 12 orang Spanyol membuat kertas di Valencia, kemudian menyebar ke Perancis, dengan pabrik pertama didirikan di Troyes. Akhirnya keterampilan membuat kertas sampai di Inggris pada akhir abad ke 15. Pada awalnya, kertas-kertas Eropa dibuat dari rongsokan linen dan kapas seperti sekarang ini, ketebalan dan kekasaran lembaran menuntut perekatan dengan selatin dari binatang, sebelum kertas tersebut dapat menerima tinta dari pena bulu angsa. Kemudian Johann Gutenberg menggunakan press cetak untuk menyesuaikan permukaan kertas ukuran Eropa yang keras dan kenyal.
Salah satu dokumen yang pertama kali diketemukan, menunjukkan bahwa pembuatan kertas di Itali berlangsung pada akhir abad ke 13 dan dibuat di pabrik Fabriano, yang saat ini masih berproduksi. Pabrik di Fabriano merupakan tempat yang penting karena menghasilkan kertas dengan kaulitas bagus dan tidak seperti kertas biasa pada waktu itu karena diberi bahan perekat dari kulit binatang. Hasil pembuatan pabrik tersebut permukaannya sangat halus dan bagus untuk menulis dan menggambar.
Pemakaian lem dari kulit binatang pada kertas menyebabkan kertas tersebut sebagai suatu pengganti dari parchment dan vellum. Teknik dari pabrik tersebut segera ditiru oleh pabrik-pabrik kertas di seluruh Eropa. Di Perancis, ada sebuah legenda bahwa pada tahun 1147, seorang warga negara Perancis bernama Jean Montgolfier telah dipenjara selama Perang Salib ke 2 dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama 3 tahun di sebuah pabrik kertas di Damascus. Di sana ia belajar membuat kertas sehingga sepulangnya ke Perancis, sanggup mendirikan pabrik kertasnya sendiri. Selama 200 tahun berikutnya, maka pabrik-pabrik kertas berkembang di Perancis selama beberapa dasawarsa. Di sana terdapat bukti bahwa pabrik-pabrik kertas telah menghasilkan barang-barang kertas di Cologne dan Mainz, Jerman pada tahun 1320. Hal itu terdapat dalam catatan harian dari pembuat kertas Nuremberg, Ulman Stromer yang telah membuat dokumen bahwa Stromer telah membangun pabrik dan melengkapinya pada tahun 1390. Pabrik Stromer yang terletak dekat kota Nuremberg merupakan pabrik kertas pertama yang digambar dalam sebuah buku yang dipublikasikan dalam: Hartmann Schedel’s Nuremberg Chronicle of 1493.
Pembuatan kertas menjadi suatu kerajinan yang mapan di Belanda selama akhir abad ke 16. Perang delapan puluh tahun masih berlangsung kemudian dan ikatan-ikatan dengan pusat-pusat pembuatan kertas Perancis telah menjadi hancur pada tahun sebelum jatuhnya Antwerpen oleh Spanyol. Hal ini menimbulkan suatu migrasi ke Utara, dari Antwerpen (Pusat kertas terbesar yang dikuasai Austria) pindah ke Amsterdam. Pada akhir abad tersebut Amsterdam menjadi pusat produksi kertas dan perdagangan Internasional. Dari sinilah kemudian produksi kertas meluas ke Eropa dan menjadi terkenal (lih. Churchill, 1965: 5; Bani Sudardi, 2003: 91 – 92). Selain itu, penemuan alat Hollander beater, sebuah alat yang dipakai untuk merendam dan menyiapkan bubur kertas pada abad ke 17, maka pembuatan kertas menjadi industri utama, dan Belanda menjadi terkenal karena kertas-kertas putihnya yang bagus dan halus. Saat ini Perusahaan Kertas Van Gelder masih terus beroperasi dengan menggunakan pabrik kertas yang bertenaga angin (wind-driven paper mill). Pabrik tersebut terletak di Westzaan dan dibangun pada tahun 1692.
Kertas produksi Eropa yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan Eropa mempunyai ciri yang tidak ditemukan pada kertas Cina dan Arab. Kertas Eropa memiliki watermark. Kertas tertua yang memiliki watermark berasal dari tahun 1346 yang saat itu sudah ditemukan 271 model watermark yang berasal dari Italia, Perancis, Swzitzerland dan Jerman. Hal ini menunjukkan sudah beragamnya jenis kertas yang diproduksi (lih. Churchill, 1965: 6; Bani Sudardi, 2003: 92).
2.2. Sejarah Kertas Daluang atau Dluwang dan Pemanfaatannya
Istilah daluang atau dluwang sebenarnya merujuk pada sejenis pohon yang nama Latinnya adalah Broussonetia papyryfera Vent. Pohon saeh (sebutan di Sunda), yakni sejenis tumbuhan tingkat rendah yang termasuk dalam keluarga Moraceae. Di beberapa tempat disebut pula Paper moerbeiboom, Murier a papier, Japanischer papierbaum atau paper mulberry. Dalam istilah lain, tanaman ini disebut sepukau di Basemah, glugu/galugu (Jawa), dhalubang/dhulubang (Madura), kembala/rowa (Sumba Timur dan Barat), linggowas (Banggai), iwo (tembuku) dan malak di Alf Seram (Tedi Permadi, 2007).
Tedi Permadi (2006) menyatakan bahwa sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh ahli arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awalnya daluang berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari, misalnya pakaian. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor yang diperkirakan dari abad 3 SM. Hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat itu disebut “tapa”. Selain itu, di dalam buku Literatur of Java muncul nama daluang pada zaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Selain itu, digunakan juga sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu, media untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Bahkan sampai saat ini pun, kertas daluang hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana di Bali untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu.
Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben, yang disimpan di dalam “kitir”. Konon, “kitir” berbentuk kupu-kupu dan berfungsi sebagai simbol magis yaitu medium pengantar arwah ke nirwana. Selain itu terdapat “kajang” yang berbahan dasar daluang. “Kajang” bagi masyarakat Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.
Daluang bagi masyarakat Pacitan, Jawa Timur, digunakan sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Secara etimologis, kata ”daluwang” terdiri atas dua kata, yaitu “dalu” yang berarti malam dan “wang” yang berarti orang. Jadi, “dalu” + ”wang” adalah orang yang bekerja pada malam hari. Karena proses pengerjaan kertas daluang untuk ditulisi cerita-cerita atau teks–teks penting hanya dapat dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari.
Pada masa kebudayaan Hindu di daerah Kediri, daluang digunakan untuk menuliskan cerita Panji untuk pergelaran wayang beber. Kemudian pada zaman ke-Islaman di Nusantara, fungsi daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis, Jawa Timur, bahwa kertas daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab keagamaan.
Sebenarnya proses pembuatan daluang tidak jauh beda dengan proses pembuatan kain (pakaian) dari kulit kayu yang dibuat di pedalaman Kalimantan (suku Dayak) dan Sulawesi (Banggai). Akan tetapi proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang ini telah ”terputus” (Rumphius dalam Basri Marzuki, 2008). Karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik lagi untuk melanjutkan tradisi pembuatan daluang, seperti halnya yang terjadi di Donggala, Sulawesi Tengah. Siti Lima, perempuan yang berusia lebih dari 70 tahun dari desa Pandere, kecamatan Gumbasa, kabupaten Donggala adalah satu-satunya perajin yang tersisa di daerah itu menyatakan bahwa tidak ada anak dan cucunya yang mau mewarisi keahlian sang nenek. Padahal dahulu kala, orang-orang tua hanya mengenal kain yang terbuat dari kulit kayu untuk menutupi tubuhnya. Bahan baku di hutan-hutan yang cukup melimpah dan alat-alat sederhana yang banyak terdapat di sekitar, membuat kain penutup tubuh itu mudah dibuat. Namun seiring dengan perjalanan waktu, terutama ketika teknologi dan globalisasi merasuk ke semua sendi kehidupan, kain yang terbuat dari kulit kayu pun mulai ditinggalkan. Dengan beberapa lembaran rupiah saja, seseorang tidak lagi harus masuk hutan untuk mencari bahan kayu dan tak lagi harus melalui sejumlah prosesi dan pantangan untuk menghasilkan kain dari kulit kayu. Akan tetapi ditinggalkannya kain kulit kayu bukan karena kemajuan teknologi semata, makin berkurangnya populasi pohon di hutan juga makin menyulitkan warga untuk mendapatkan bahan baku gratis. Lagi pula hidup orang modern kini semakin menjadi pilihan karena dianggap lebih praktis (Basri Marzuki, 2008). Untuk itu diperlukan reka ulang dan revitalisasi proses pembuatan daluang sehingga proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang dapat terus dilestarikan.
Dalam revitalisasi kertas daluang dibutuhkan upaya penanaman pohon tersebut di daerah dengan kemiringan tanah tertentu. Pasalnya, akar pohon ini membutuhkan ruang penjalaran tersendiri untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pohon ini yang muncul ke permukaan dan mendapat sinar matahari berpotensi tumbuhnya tunas baru. Seperti halnya tumbuhan tingkat rendah, pohon saeh tidak memiliki bunga dan buah. Adapun daunnya menyerupai telapak tangan yang sedang mengembang dan sedikit berbulu Walaupun demikian, batang yang tampak dari pohon tersebut sebenarnya merupakan batang semu. Hal ini disebabkan oleh sistem reproduksi tanaman saeh dilakukan melalui akar rimpangnya atau geragih. Karena di dalam akar tersebut terdapat semacam jaringan tumbuh, maka apabila akar tersebut menyembul ke permukaan tanah lalu terkena sinar matahari, akar tersebut akan terangsang berfotosintesis sehingga mengeluarkan tunas baru. Pohon ini dapat tumbuh setinggi 6 meter dengan diameter batang sekitar 20 cm dalam usia satu tahun. Satu tahun adalah umur yang ideal untuk panen. Lebih dari satu tahun, kulit pohon ini akan keras sekali dan dibutuhkan proses yang lebih lama untuk membuat kertas daluang.
Kertas tradisional ini milik masyarakat Indonesia dan sekaligus menjadi kekayaan yang unik dalam pembuatan naskah-naskah sejarah penting pada zaman dahulu. Di negera Cina, Tailand dan Mesir juga memiliki tradisi tulis yang sama, yaitu penggunaan kertas tradisional yang diolah secara tradisional sebagai simbol masa kejayaan kebudayaannya. Kini, pohon paper Mulberry ditanam dalam jumlah 6.000 pohon oleh keluarga Abidin dan Deden di Kampung Trenggilis, Desa Cinunuk, Wanaraja, Kabupaten Garut. Keluarga Abidin memang sudah turun-temurun menanam pohon itu dan menggunakan kulit Saeh itu untuk membuat kertas daluang (Tedi Permadi, 2007).
Upaya revitalisasi dan sosialisasi kertas daluang juga dilakukan pada kalangan seniman rupa untuk dijadikan sebagai medium berkarya. Uniknya, kertas daluang ini dapat digunakan beberapa kali. Bila ingin difungsikan sebagai kain, maka kertas itu harus dibasahi secukupnya hingga menemukan elastisitas kain pada umumnya. Hal lainnya, serat pada kertas daluang ini sangat kuat. Tak mengherankan bila naskah-naskah kuno yang berumur ratusan tahun masih nampak utuh. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air (lih. Sakamoto, 2003). Selain itu, kertas daluang dapat dipakai untuk menggambar, menulis, atau melukis. Bahkan daluang ini juga dapat dibentuk menjadi boneka atau topi dengan mengeringkannya di atas cetakan atau model. Kertas daluang ini juga dapat difungsikan seperti halnya kertas biasa, beberapa penulis juga pernah menggunakan kertas daluang untuk mencetak buku, mencetak foto dan lain-lain. Sayangnya, peran pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen kertas ini, yaitu sering memesan kertas daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal, daluang berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional yang layak dijadikan simbol kejayaan kebudayaan bangsa.
3. Penutup
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sebelum kertas diketemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha mencari permukaan-permukaan benda yang sekiranya cocok untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Pada awalnya cara mereka mengungkapkan perasaan melalui suatu kegiatan menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan sebagainya. Setelah kertas ditemukan, keberadaannya dalam kehidupan manusia menjadi relatif penting, karena kertas berfungsi sebagai pencatat ilmu pengetahuan, media untuk promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan.
Kedua, kertas menjadi bagian budaya Eropa melalui perjalanan sejarah yang panjang. Setelah Ts’ai Lun mempersembahkan kertas hasil ciptaannya pada Kaisar Ho Ti pada tahun 105 Masehi. Baru pada tahun 600 sesudah Masehi, kertas mencapai Korea, dan baru sekitar 15 tahun kemudian sampai ke Jepang. Pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia. Namun. akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Kemudian muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand. Kemudian berangsur-angsur para ahli pembuat kertas pindah ke Timur, ke arah Damaskus kemudian ke Mesir dan Maroko, dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India. Eropa memperoleh pengetahuan tentang pembuatan kertas agak terlambat, yaitu pada abad ke 12 atau ke 13 melalui Itali dan Spanyol khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol
Ketiga, pada awalnya kertas daluang ini berfungsi sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari, misalnya, pakaian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor yang diperkirakan berasal dari abad 3 SM. Masyarakat menamakannya hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari dengan istilah “tapa”. Selain itu, kata daluang telah disebutkan dalam buku Literatur of Java, yang menyatakan bahwa kemunculan nama tersebut berasal pada zaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas daluang saat itu digunakan untuk membuat wayang beber, pakaian pelengkap para Pandita Hindu, media untuk menuliskan mantera orang-orang suci. Bahkan di Bali saat ini pun, daluang hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana untuk kepentingan upacara ritual umat Hindu.
Keempat, upaya revitalisasi dan sosialisasi kertas daluang perlu dilakukan pada semua kalangan untuk dijadikan sebagai medium berkarya agar proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatannya dapat terus dilestarikan. Kertas daluang memiliki serat kuat sehingga naskah-naskah kuno dapat bertahan sampai ratusan tahun. Selain itu, kertas daluang dapat digunakan untuk mencetak buku, mencetak foto dan lain-lain. Sayangnya, peran pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen, yaitu sebagai pemesan kertas daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal, daluang berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional yang layak dijadikan simbol kejayaan kebudayaan bangsa.
Daftar Pustaka
Afriastini, J.J. 1988. Daftar Nama Tanaman. Jakarta : Penebar Swadaya.
Bani Sudardi. 2003. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia.
Basri Marzuki. 2008. “Kisah Kain Kulit Kayu yang Layu” dalam http://www.panyingkul.com/ view.php?id=896&jenis=kabarkita, diakses 10 Agustus 2008 Pukul 09:00 WIB.
Casparis, J.D. 1975. De Indonesia Paleography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. Leiden: E.J. Brill.
Churchil, W.A. 1965. Watermarks in Paper in Holland, England, France Etc. in the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Amsterdam: Menno Hertzberger & Co.
Edi Sedyawati. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Endang Sri Hardiati. 2002. “Perkembangan Aksara di Indonesia” dalam Pameran Perkembangan Aksara Di Indonesia. Jakarta: Museum Nasional.
Gallop, Annabel Teh and Bernard Arps. 1991. Surat Emas Raja-raja Nusantara: dari Koleksi Inggris. Jakarta: Yayasan Lontar.
Hart, Michael. H. 1990. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hughes, Sukey. 1978. Washi The World of Japanese Paper. Tokyo, New York and San Fransisco : Kodansha International.
Kumar, Ann and John H. McGlynn. 1996. Illumination: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation.
McGlynn, John. H. 2002. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Grolier International, Inc.
Nooryan Bahari. 1995. Karakteristik Kertas Buatan Tangan dengan Bahan Baku Limbah Pertanian,Ttanaman Nonproduktif, dan Sampah Kertas. Bandung: Laporan Penelitian – ITB
Tedi Permadi. 2006. “Cara Membuat Kertas Daluang”. dalam http://daluang.com/cara-membuat-kertas-daluang/ diakses 10 Agustus 2008 Pukul 08:30 WIB.
____________. 2007. ”Kertas Tradisional, Daluang, Bagi Perupa” dalam http://argusbandung.blogspot.com/2007/08/kertas-tradisional-daluang-bagi-perupa.html diakses 10 Agustus 2008 Pukul 09:20 WIB
Sakamoto, Isamu. 2003. Konservasi Naskah. Jakarta: Materi Pelatihan Penelitian Filologi yang diselenggarakan oleh The Toyota Foundation dan Yayasan Pernaskahan Indonesia.
Studley, Vance. 1977. The Art & Craft of Handmade Paper. New York: Van Nostrand Reinhold Company.