DEFINISI
Kujang berasal dari kata kudi dan hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala. Kudi atau kudhi juga dapat diartikan sebagai alat bantu pekerjaan untuk membelah atau memotong benda keras, seperti parang. Sebagaimana parang, kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai celurit tetapi bagian pangkalnya membesar. Bentuk kudi yang lebih langsing dapat dipergunakan sebagai senjata. Senjata kujang dianggap sebagai kembangan dari kudi.
Hyang (dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, dan Bali) adalah suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural. Keberadaan spritual ini dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur. Kini dalam bahasa Indonesia istilah ini cenderung disamakan dengan Dewa, Dewata, atau Tuhan. Tempat para hyang bersemayam disebut Kahyangan, yang kini disamakan dengan konsep surga.Dalam bahasa Sunda istilah "nga-hyang" berarti "menghilang" atau "tak
terlihat". Diduga kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata
"hilang" dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Pada
perkembangannya istilah "hyang" menjadi akar kata beberapa nama,
sebutan, dan istilah yang hingga kini masih dikenal di Indonesia (Wikipedia).
Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
BAGIAN BAGIAN KUJANG
-
Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
-
Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
-
Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
-
Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang
pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau
perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya
sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap
status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata,
malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
-
Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut
Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk
memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
-
Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
-
Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
-
Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk
menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
-
Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
-
Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
-
Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
-
Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
-
Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang. (Kaskus)
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika
hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat
ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala
itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang
belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan
rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan
(sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun
itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang
terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor
sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini
sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor
marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh
kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang
Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan
buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya
hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor
sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu
terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial
Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya
sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan
konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat
gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua
kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang
badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana”
dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga
diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung
sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan
di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir
antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda
obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan
kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping
yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk
kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi
kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan),
sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten
masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata
hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan”
(tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten,
Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang
Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan
budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada
upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan
pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun
Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala
subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas)
masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja
atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi
seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran
pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat
itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini
hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom
(putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama,
para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat
biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok,
congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan
kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para
kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk.
Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk
kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian
pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya
barisan pratulup, dan seterusnya.
-
Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
-
Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
-
Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
-
Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
-
Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar,Mantri Karang, dan Mantri Jero);
-
Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
-
Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
-
Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para
Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit,
Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh
kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung,
yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang
Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang
bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita
bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang
Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang
Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan
pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya
khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana,
Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa
saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi
fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai
pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para
wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki
fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para
Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para
Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya
hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena
bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan
ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama
dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor,
dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak
Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari
besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang
bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi
baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan
kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang
disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada
bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada
kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang
pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk
tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang
memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses
pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata
kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya,
ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan
“Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya
‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya
kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika
Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke
Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda
tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih
berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang
mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa).
Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang
bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang
bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan
artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana
keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu
menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
-
Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
-
Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau
landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
-
Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
-
Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka
ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu,
khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang
indah-indah.
-
Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular
Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”.
Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar
Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb.
Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari
ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
-
“Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu.
Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa
terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb.
Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya
memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib
sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para
“Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik
kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali,
Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas
kujang disebut Paneupaan. Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah “Kalangsunda Makalangan”
terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus
Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi
sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan
bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat
pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan
“Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan
“Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.
CARA MEMBAWA KUJANG
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
-
Disoren; yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
-
Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
-
Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
-
Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.
CARA MENGGUNAKAN KUJANG
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara
dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai)
menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit
menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan
lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya
kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung
(kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya
demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat
dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama
seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai)
seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti
diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun
jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat
sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
PEMILIK KUJANG
pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya boleh
dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan
status sosialnya dalam masyarakat, seperti: raja, prabu anom (putera
mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para
puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi
rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata tradisional atau
pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya
hanya digunakan untuk bertani dan berladang.
Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk
dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata
sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah
hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang
bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati
Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut,
kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang
ciung bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli
agama, kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun,
kujang ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama,
dan kujang ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama.
Sebagai catatan, para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang
khusus yang bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang
pangarak umumnya digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti
upacara bakti arakan dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom
kesentosaan seluruh negeri.
Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya
kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status
setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya
dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu,
Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri
Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang
bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru
Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru,
Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang
badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang,
Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.
Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan)
dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya
Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang,
Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang
dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk
kaum perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka
mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi
baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan
kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan
ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).
JENIS KUJANG DAN PEMEGANGNYA
KUJANG CIUNG Mata 9
- Pegangan Raja-raja Sunda
- Brahmesta(Pandita Agung)
KUJANG CIUNG mata 7
- Prabu Anom
- Mantri Dangka
- Pandita
KUJANG CIUNG mata 5
- Geurang Serat
- Bupati
- Geurang Puun
KUJANG CIUNG mata 5 Wesi Kuning
- Para Putri Menak Pakuan
KUJANG CIUNG mata 3
- Para Puun
KUJANG CIUNG mata 1
- Guru Tangtu Agama
- Pangwereg Agama
KUJANG JAGO mata 4
- Para Balapati
- Para Lulugu
- Para Sambilan
KUJANG KUNTUL mata 4
- Para Patih
KUJANG BANGKONG
- Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Teupa, Guru Cucuk, Guru Alas, jsb
KUJANG NAGA
- Para Kanduru
- Para Jaro
KUJANG BADAK
-Pangwereg, Pamatang, Palongok, Palayang, Bareusan, Parajurit, Pangwelah, Paratulup, Pangawin, Kokolot, Sarawarsa.
Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Hyang
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kudi
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kujang
- http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10318687
- Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
- wahyukujang.wordpress.com
- budi "DALTON" art.